Selanjutnya, ada nasabah yang ingin melaporkan kartu ATM yang tertelan karena salah memasukkan PIN hingga tiga kali. Sisanya hanya pembukaan rekening baru atau minta bantuan untuk mencetak buku tabungan.

Hari itu semua bisa dibilang berjalan lancar untuk urusan pekerjaan. Saat istirahat makan siang, Marsha kembali mengobrol dengan Betty tentang dunia memasak. Tentu saja Marsha tak bercerita mengenai pertengkarannya dengan Vincent. Emma bergabung sebentar, kembali mengingatkan Marsha betapa beruntungnya perempuan itu.

Menjelang sore, Marsha menegur dirinya sendiri untuk berbaikan dengan Vincent. Dia sudah membuang-buang waktu lebih dari cukup. Persoalan mereka seharusnya segera dituntaskan agar tak telanjur membesar.

Karena itu, Marsha senang sekali saat suaminya menelepon saat jam kerjanya nyaris berakhir. Vincent bertanya apakah sang istri bisa datang ke kantornya sepulang kerja. Marsha menyanggupi. Sayang, mereka tak punya banyak waktu untuk bicara karena Vincent tampaknya sedang sibuk.

Meski demikian, Marsha sudah memiliki rencana sendiri. Dia akan segera melompat ke dalam pelukan Vincent dan mencium suaminya setelah mereka bertemu. Sayang, perjalanan ke kantor Vincent tak terlalu lancar. Angkutan yang ditumpanginya terjebak macet hingga puluhan menit. Marsha baru tiba di kantor suaminya hampir pukul lima.

Di lobi, Marsha menyapa Ratna dengan ramah. Perempuan itu membalas meski dengan sikap canggung yang tak seharusnya dimiliki oleh seorang resepsionis. Diam-diam Marsha bertanya-tanya. Apakah perempuan itu masih menyukai Vincent? Sebesar apa rasa suka Ratna pada suami Marsha?

Ah, tapi semua pertanyaan itu tak penting. Berapa pun jumlah perempuan yang tergeila-gila pada Vincent, sepanjang pria itu tak merespons, Marsha tidak akan peduli. Hingga detik ini, Marsha yakin bahwa suaminya adalah pria yang bisa dipercaya.

Marsha langsung menuju lantai lima setelah menerima kartu pengenal sebagai pengunjung dari Ratna. Kartu itu dijepitkan di kantong atas blazer yang dikenakannya. Marsha tadinya berniat menelepon Vincent, mengabari bahwa dia sudah sampai di kantor suaminya. Namun akhirnya niat itu diurungkan oleh Marsha.

Ketika Marsha memasuki ruang kerja suaminya, Vincent sedang memperhatikan layar laptopnya dengan serius. Ketika melihat kehadiran istrinya, Vincent langsung berdiri dan meninggalkan kursinya. Marsha menutup pintu di belakangnya.

"Aku minta maaf karena udah ngomong seenaknya tadi malam," gumam Vincent setelah berdiri di depan istrinya. "Jangan marah lagi ya, Sha? Nggak enak banget rasanya seharian ini."

Marsha tak segera menjawab. Dia memeluk Vincent, menyamankan diri dalam dekapan suaminya tercinta. Setelah berlalu beberapa detik, barulah Marsha membuka mulut. "Aku juga minta maaf karena udah bersikap nyebelin. Harusnya aku nggak boleh kesal karena kamu udah makan. Aku cuma pengin nunjukin kalau aku bisa masak sendiri makanan untukmu, Vin."

Vincent mengetatkan dekapannya. Marsha merasakan kecupan di rambutnya. "Aku tau. Lain kali, aku akan ngasih tau kalau terpaksa makan di luar. Atau, kamu bisa nyoba masak tiap akhir pekan, saat kita cuma di rumah."

"Aku setuju sama poin terakhir. Aku cuma akan masak pas akhir pekan. Jadi, kegiatan kita akan bertambah. Nggak cuma bebersih dan bercinta."

Vincent tertawa geli. Lelaki itu menangkup kedua pipi Marsha, lalu memajukan wajah sehingga kening mereka saling menempel. "Aku nggak suka berantem sama kamu."

"Aku juga."

Vincent lalu mencium Marsha hingga mereka terengah-engah kemudian. "Sekarang, kamu makin jago aja nyiumnya, Sha," puji Vincent.

"Karena jam terbangku makin tinggi, Vin," sahut Marsha sambil tersenyum lebar. Kedua tangannya masih melingkari leher suaminya. "Aku juga punya guru yang oke."

Vincent tersenyum sambil membelai pipi kiri Marsha. "Sekarang ini, aku pengin langsung pulang. Tapi, tadi Mama nelepon, minta kita datang ke rumah. Ada acara kumpul-kumpul keluarga Mama. Udah dikasih tau sih dari minggu lalu, tapi aku lupa. Untungnya tadi Mama nelepon lagi. Makanya aku minta kamu yang ke sini supaya kita bisa langsung ke rumah Mama lewat tol. Nggak muter-muter dulu."

Marsha menahan diri agar tak menghela napas. Sesungguhnya, saat ini dia cuma ingin menghabiskan waktu bersama suaminya. Namun, tampaknya keinginan itu harus tertunda. "Mau pergi kapan?"

"Sekarang. Tapi, aku matiin laptop dulu, ya? Kerjaanku udah kelar barusan."

Tak sampai dua puluh menit kemudian, pasangan itu sudah berada di perjalanan menuju rumah orang tua Vincent. Keduanya sepakat, mereka akan pulang sekitar pukul delapan. Saat tiba di tempat tujuan, Taura dan Inggrid sudah berada di sana. Tentunya bersama Aileen dan bayi tampan mereka, Neo. Sementara Hugo, Dominique, dan Sarah belum terlihat.

Marsha buru-buru mencuci tangan sebelum menggendong Neo yang baru berumur dua bulan. Bocah lelaki itu memiliki wajah yang merupakan perpaduan ayah dan ibunya. Bahkan, entah bagaimana, Neo memiliki kemiripan dengan Aileen meski mereka tak berhubungan darah sama sekali.

Satu per satu keluarga Vincent dari pihak ibunya pun berdatangan, meramaikan rumah yang memang berukuran besar itu. Marsha tak terbiasa dengan situasi semacam ini. Ibunya anak tunggal, keluarga ayahnya tinggal di Makassar. Kakek dan neneknya pun tak memiliki banyak saudara. Namun, Marsha menyukai keakraban yang ditunjukkan keluarga Salindri.

Malam itu Marsha mendengarkan obrolan antara Salindri dengan para tamu, membahas tentang ketiga menantunya. Obrolan itu tidak dimaksudkan sebagai hinaan, bukan juga diucapkan sambil berbisik-bisik. Hanya berupa perbincangan ringan yang dipenuhi canda. Ketika membahas tentang Marsha, perempuan itu berjengit mendengar kata-kata yang meluncur dari bibir mertuanya.

"Marsha memang terlalu muda untuk nikah, kuliahnya juga belum lama kelar. Tapi, karena Vincent cinta setengah mati, kami nggak bisa melarang, kan? Untungnya sampai sekarang keliatannya adem ayem." Salindri menatap menantunya sambil tertawa kecil. "Jodoh itu memang rahasia Tuhan. Siapa sangka, Vincent yang umurnya paling tua, malah punya istri yang masih kecil."

Vincent entah berada di mana, sehingga tidak mendengar kata-kata ibunya. Namun, Julian buru-buru bersuara. "Marsha udah dewasa, nggak bisa disebut masih kecil, Ma."

Marsha menahan diri agar tidak mengucapkan kata-kata apa pun yang akan disesalinya kelak. Ini bukan pertama kalinya Salindri menyinggung tentang perbedaan usianya dengan Vincent. Semuanya dilakukan di depan umum. Termasuk ketika Inggrid melahirkan dan Marsha ikut berjaga di rumah sakit. Dia selalu dianggap anak kecil. Mungkin, ibu mertuanya tidak memiliki maksud jelek. Namun, Marsha tak suka poin itu diulang-ulang.

Menjelang pukul delapan, Vincent baru muncul dengan wajah kusut. Entah apa yang terjadi pada suaminya, Marsha tak tahu. Namun, dia memiliki tenaga untuk mencari tahu karena perempuan itu sendiri pun sedang merasa kesal.

Setelah tiba di rumah, Marsha menumpahkan kegusarannya di depan Vincent. Marsha tidak memperkirakan jika hal itu akan memicu pertengkaran kedua. Kali ini, jauh lebih besar dibanding kemarin.

Lagu : Love Hurts (Joan Jett)

Born To Love You [Terbit 28 Juni 2023]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang