Let It Go

35.4K 4.3K 107
                                    

Marsha tak pernah menduga jika mengobrol dengan Vincent membuatnya betah. Padahal, biasanya dia tidak tahan berlama-lama dengan lawan bicara bertipe serius seperti pria satu ini. Apakah karena wajah Vincent gampang sekali memerah hanya karena digoda Marsha? Atau karena pria ini tak pernah memandangnya dengan tatapan nakal meski Marsha mengenakan celana pendek atau rok mini? Mungkinkah juga karena Vincent tak pernah mengomentari penampilan gadis itu yang kerap mendapat penilaian negatif dari orang-orang sekelilingnya?

Jauh di dalam benaknya, Marsha tahu satu hal. Vincent adalah pria baik. Mungkin, itu penilaian yang terlalu prematur dan emosional. Sebab, mereka baru bertemu tiga kali. Akan tetapi, dia tak peduli. Marsha percaya pada instingnya.

"Jadi, apa rencanamu setelah berhenti dari Trend? Mau nyari kerja lain sambil nunggu wisuda?" tanya Vincent. Lelaki itu membuka botol air mineral yang baru dibeli Marsha dari warung di depan rumah indekosnya. Es teh manis pesanan keduanya sudah habis. Vincent pun sudah tidak lagi mengompres pipinya.

"Untuk saat ini, aku belum mikirin soal itu. Tadi pun berhenti kerja bisa dibilang spontan. Niatnya lusa baru ngundurin diri."

Vincent mengerutkan alis. "Pasti mau nyalahin aku," tebaknya.

"Ya nggaklah. Aku bukan tipe orang yang kayak gitu. Kalaupun ada yang perlu disalahin, aku orangnya."

"Kenapa gitu?"

"Salahku, punya dorongan kuat untuk jadi pahlawan. Ngeliat kamu kena pukul laki-laki nyebelin tadi, bikin aku makin nggak betah di Trend."

"Itu alasan yang nggak masuk akal," protes Vincent.

"Aku tau. Lagian, aku kan nggak nyuruh kamu nyari hubungannya. Aku cuma menjawab pertanyaanmu."

"Jawaban yang ngawur."

Marsha tertawa terbahak-bahak. "Memangnya ada larangan untuk ngasih jawaban ngawur? Ya, terserah aku dong."

Vincent geleng-geleng kepala. "Nggak tau harus komen apa. Aku nggak pernah punya temen cewek kayak kamu. Bahkan, aku nggak pernah punya temen cewek sama sekali."

Pengakuan itu membuat Marsha menyeringai. "Jadi, kamu temenan cuma sama cowok doang? Kamu bukan misoginis kan, Vin?"

"Aku nggak terlalu ahli bergaul. Nggak bisa nyantai dan nyaman ngobrol sama orang baru kayak kamu gini. Temen terdekatku cuma adik-adikku. Dua-duanya cowok," sahut Vincent.

"Ada fotonya? Aku pengin liat tampang adik-adikmu. Kalian mirip nggak, sih?"

Vincent tak menjawab. Pria itu mengambil ponselnya dan berkutat dengan benda itu selama beberapa detik. Lalu, Vincent menghadapkan layar gawainya ke arah Marsha. Refleks, gadis itu memajukan tubuh. Hidungnya kembali menghidu aroma parfum Vincent.

"Kami tiga bersaudara, aku anak sulung. Yang di tengah namanya Hugo, dia adik bungsuku. Paling kanan Taura, dia cuma lebih muda setahun dariku."

Kulit Hugo lebih putih dibanding kedua kakaknya. Wajah mereka bertiga memiliki kemiripan walau tidak serupa saudara kembar. Senyum Taura paling lebar. Dia juga memiliki belahan di dagu.

"Adik-adikmu cakep ya, Vin. Tapi lebih cakep kamu, sih," aku Marsha tanpa basa-basi. Sekali lagi, dia melihat wajah Vincent berubah warna, kini serupa tomat matang. "Kenapa mukamu jadi merah gitu, sih? Apa nggak pernah ada yang muji dan bilang kamu cakep?" tanyanya tak mengerti. "Udah tua pun masih gampang tersipu-sipu."

Vincent menaruh ponselnya di atas meja. "Tersipu-sipu itu nggak ada kaitannya sama umur." Lelaki itu berdeham. "Di duniaku, Taura atau Hugo yang selalu dianggap paling menarik perhatian."

"Di duniaku, Vincent yang paling keren," Marsha menukas. Tawanya pecah kemudian. "Kalau kamu gampang blushing gini, bikin aku makin semangat untuk gangguin. Biasanya, yang bisa kubuat merona cuma setingkat abege doang. Jadi, ini prestasi buatku."

Born To Love You [Terbit 28 Juni 2023]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang