Maybe I'm Amazed

17.2K 2.8K 101
                                    

Marsha paham, saat ini gerak geriknya sedang diperhatikan dengan saksama oleh Salindri. Perempuan paruh baya yang tetap cantik dan bergaya itu, tidak menyamarkan pengamatannya. Jika boleh sedikit lega, sikap Salindri sekarang lebih rileks dibanding kali pertama mereka berkenalan. Atau saat Marsha baru saja memasuki kantor Vincent.

Mungkin, seharusnya Marsha memilih pulang karena Vincent harus mengikuti rapat. Namun, Salindri menahannya agar menunggu Vincent hingga selesai dan Marsha tidak melihat alasan untuk menolak. Atau, barangkali karena jauh di dalam sukmanya, Marsha paham bahwa ini semacam tes untuknya? Salindri pasti ingin tahu seberapa dewasa gadis muda yang nekat memacari putra sulungnya.

"Lapar nggak, Sha? Pasti belum makan, kan? Mau makan bareng Om dan Tante atau nunggu Vincent?" tanya Julian, tak lama setelah mereka hanya tinggal bertiga.

"Lumayan lapar, Om. Kalau nunggu Vincent, pasti lama kan, Om?" respons Marsha tanpa pikir panjang. Gadis itu baru tersadar bahwa seharusnya dia sedikit menahan diri. Berpura-pura bahwa perutnya tidak keroncongan dan tak keberatan menanti pacarnya selesai rapat. Akan tetapi, itu sama sekali bukan dirinya. Marsha tak pintar bersandiwara.

"Berarti, kamu nggak keberatan makan bareng Om dan Tante kan, ya?" Salindri agak mendesak. "Tante juga udah lapar." Perempuan itu berdiri dari tempat duduknya.

"Yuk. Di dekat sini ada banyak restoran enak," imbuh Julian. Lelaki itu juga ikut berdiri. "Sampai dua tahun lalu, Om masih ngantor di sini, lho. Sekarang aja udah nggak rutin lagi datang ke sini."

"Tapi, saya yang traktir ya, Tante?" komentar Marsha buru-buru. Gadis itu menegakkan tubuh dengan jantung berdebar-debar. "Gaji pertama, Om," imbuhnya saat melihat Julian siap merespons. "Tapi Om dan Tante yang pilih restorannya, ya? Karena saya nggak terlalu paham mana yang enak di sini."

Di depan Marsha, orang tua Vincent saling pandang. Salindri tidak menyembunyikan ekspresi kagetnya, sedangkan Julian malah menyeringai. Saat itu, Marsha bisa memindai kemiripan antara ayahnya dengan Vincent.

"Oke, Sha. Nggak boleh nolak rezeki. Jadi, kalau kamu yang mau traktir, Om dan Tante senang-senang aja," sahut Julian kemudian. "Lain kali, giliran Om yang traktir, ya?"

"Iya, Om."

Mereka meninggalkan gedung PT Sanjaya Indo berjalan kaki. Salindri yang memilih restoran dengan menu masakan china. Letak restoran bernama Babah King itu tak sampai seratus meter dari kantor Vincent. Mereka juga melewati trotoar tempat Marsha bertengkar dengan pengemudi motor yang mengantarnya berkenalan dengan Vincent.

Restoran yang didominasi dengan warna merah dan memasang puluhan lampion sebagai sumber penerangan itu, adalah tempat yang nyaman. Marsha memesan nasi hainan. Julian dan Salindri memilih mapo tahu, fuyunghai, serta capcay. Untuk minuman, ketiganya sepakat hanya memesan es teh manis.

"Jangan heran ya, Sha. Om makannya banyak," gurau Julian saat pramusaji yang mencatat pesanan mereka baru saja berlalu.

"Saya juga tukang makan, Om," balas Marsha sambil tersenyum. Dia duduk di seberang pasangan Ishmael. "Di kamar kosan, saya selalu punya stok camilan karena nggak kuat lapar."

Gadis itu meletakkan tas di sebelahnya. Bertepatan dengan itu, ponsel Marsha menyala. Dia mengaduk-aduk tasnya, mendapati sederet angka yang tak dikenal. Marsha buru-buru mematikan gawainya sembari meminta maaf kepada Salindri dan Julian.

"Kenapa nggak diangkat dulu, Sha?" tanya Salindri.

"Bukan telepon penting, Tante," sahutnya, setengah berdusta.

Seorang pramusaji menghampiri meja mereka untuk mengantarkan minuman. Marsha mendekatkan gelas miliknya dan mulai mengaduk isinya dengan sedotan.

"Sha, gimana ceritanya kamu bisa kuliah di Bogor? Kenapa nggak pilih Jakarta atau malah Surabaya yang lebih dekat dari Bali?" Salindri bersuara lagi.

Born To Love You [Terbit 28 Juni 2023]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang