Love Hurts

17.3K 1.9K 42
                                    

Marsha memasuki gedung Bank Nusantara dengan langkah cepat. Sejak mengenal Vincent, selain saat dia sempat meminta acara lamaran dibatalkan, kemarin adalah hari paling menjengkelkan bagi Marsha. Entahlah, dia tak tahu siapa yang harus disalahkan. Marsha yang sedang sensitif dan merasa sedih bercampur kesal karena Vincent tidak tertarik menyantap masakannya? Atau Vincent yang memaksakan diri untuk makan, muntah, lalu mengucapkan kalimat menyakitkan saat mereka bertengkar?

Perasaan Marsha begitu kacau. Saat adu mulut dengan Vincent, dia seolah melihat ayah dan ibunya bertengkar. Meski tentu saja pemicu keributannya sangat berbeda. Setelah pagi tiba pun kegusaran Marsha tak bisa reda. Karena itu, dia sengaja mendiamkan Vincent. Dia tak mau mereka bertengkar lagi.

"Gimana rencana yang kemarin, Sha? Jadi belajar masak?" tanya Betty saat mereka bertemu di dekat mesin absensi. Betty baru saja menempelkan ibu jarinya di area khusus, lalu memencet enam buah angka yang menjadi password.

"Jadi, Mbak," aku Marsha. Lalu, perempuan itu menciptakan senyum palsu yang diharapkan bisa menunjukkan bahwa dia sedang gembira. Marsha menunggu Betty bergeser sebelum mengikuti apa yang tadi dilakukan oleh perempuan itu.

"Sukses? Kamu masak apa?"

"Lumayan. Aku bikin tofu tumis daging giling dan cah pokcoy. Masaknya gampang dan rasanya oke. Cuma, aku kelamaan masak sayurnya, jadinya kelembekan."

Mereka berjalan bersisian menuju area depan bank, tempat mereka bertugas. "Wah, hebat. Nggak semua orang bisa langsung sukses di percobaan pertama, Sha," puji Betty.

Marsha cuma tersenyum. Mendadak, dia kembali merasa sedih. Marsha tak suka bertengkar dengan Vincent. Dia ingin mereka segera berbaikan lagi. Akan tetapi, di sisi lain, hati Marsha masih terasa sakit.

Kata-kata memang memiliki efek yang mengerikan, dia baru menyadari itu. Apalagi jika diucapkan oleh pria tercintamu. Sakitnya membekas. Padahal, akal sehat Marsha memberi peringatan berkali-kali, bahwa reaksi Vincent masih bisa dimaklumi. Bukankah Marsha sendiri yang awalnya menunjukkan kekecewaan dengan jelas hanya karena suaminya sudah kenyang dan menolak makan? Marsha yang terlalu sensitif dan merasa tidak dihargai. Setelah Vincent memaksakan diri untuk makan dan berakhir muntah, Marsha juga yang bereaksi berlebihan.

Akal sehatnya bicara seperti itu, bergema di kepala Marsha. Akan tetapi, hatinya menolak untuk meyakini itu. Hatinya yang masih panas, membutuhkan waktu untuk ditenangkan. Meski Vincent berkali-kali berusaha berbicara, Marsha bergeming.

Setelah menyimpan tasnya di dalam laci, Marsha menyalakan komputer. Pagi yang sibuk akan segera dimulai. Dia harus profesional. Semua persoalan pribadi harus diletakkan di tempat yang tak terjangkau, hingga jam kerjanya berakhir.

Marsha merapikan meja walau tidak ada kotoran apa pun karena seluruh ruangan sudah dibersihkan. Dia menggeser tempat khusus untuk brosur sembari merapikan isinya. Dia juga mengeluarkan wadah untuk alat tulis yang berada di laci. Saat itulah tatapan Marsha berhenti pada kacamata gelap milik nasabahnya. Dia lupa nama depan lelaki itu. Marsha cuma ingat nama belakangnya, Ibrahim.

Marsha sudah siap melayani nasabah. Di sebelah kirinya, kursi yang biasa diduduki Emma masih kosong. Begitu juga kursi milik Jani. Dia mengecek arloji yang melingkari pergelangan tangan kiri. Jam operasional Bank Nusantara akan dimulai seperempat jam lagi.

Karena masih memiliki waktu, dia meraih tisu dari laci dan digunakan untuk membersihkan kacamata milik nasabahnya itu. Lalu, Marsha meraih tisu bersih untuk membungkus bagian lensanya. Barulah setelah itu dia masukkan kacamata mahal itu ke dalam kantong kertas berukuran kecil dengan logo Bank Nusantara. Sesuai saran Emma, jika hari ini Mister Ibrahim tidak datang ke kantornya, besok Marsha akan menghubungi pria itu.

Born To Love You [Terbit 28 Juni 2023]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang