Marsha buru-buru membuka data rekening baru yang dibuka kemarin. Akhirnya dia menemukan nama yang dicari, Bobby Ibrahim. Perempuan itu mencatat nomor telepon yang tertera di data nasabah, dalam buku kecil bersampul hitam. Setelah itu, Marsha menegakkan tubuh, bersiap memulai pekerjaannya.

"Rajin banget, ih!" kata Emma yang baru saja menduduki kursinya. "Kamu bangun jam berapa sih, Sha? Kayaknya nggak pernah datang mepet ke kantor."

"Bangun jam limaan, Em. Nggak pernah lebih pagi lagi," sahut Marsha. "Di rumah, nggak ada kerjaan yang harus diberesin dulu. Karena aku biasanya beberes sebelum tidur. Jadi, pag-pagi tinggal mandi. Bisa joging minimal setengah jam. Sarapan kadang beli atau bikin yang simpel. Seringnya makan roti panggang atau bubur ayam." Marsha tertawa kecil. "Kayaknya kamu udah nanya ini ribuan kali, deh. Terutama sejak aku nikah."

"Penasaran aja, Sha. Aku belum tau kehidupan pernikahan kayak apa. Temen-temen pada ngomong, setelah nikah harus repot ini-itu. Tapi, kayaknya kamu biasa aja. Malah kadang datang lebih pagi dibanding waktu masih lajang."

Marsha membenarkan ucapan Emma dengan anggukan. Itu memang benar. "Karena itu tadi, kerjaanku udah beres sebelumnya. Lagian, memang nggak banyak yang harus diberesin. Cucian, semua ke laundry. Palingan nyuci pas akhir pekan, itu pun kalau nggak malas. Trus, seringnya dibantuin Vincent."

"Wah, suamimu baik ya, Sha. Mau bantuin kerjaan rumah segala," puji Emma.

Hati Marsha terasa hangat saat mengingat akhir pekan yang sering dihabiskannya bersama Vincent, biasanya untuk membersihkan rumah. Kecuali mereka ada acara, yang seringnya melibatkan keluarga sang suami. Marsha dan Vincent sama-sama orang rumahan, yang tidak betah kelayapan kecuali memang ada keperluan. Apalagi sejak menikah. Mereka lebih suka berada di rumah. Menonton ulang serial Game of Thrones atau film-film pilihan keduanya, sudah menjadi momen yang begitu istimewa.

"Iya, sih. Vincent itu baik banget." Mendadak, Marsha teringat pertengkaran mereka tadi malam. Dia kembali murung.

"Kamu jago masak nggak, Sha?" tanya Emma lagi.

"Nggak," jawab Marsha pendek.

"Suamimu nggak protes?"

"Nggak. Vincent itu bisa terima semua kekuranganku, Em."

Emma memandangnya dengan mata dipenuhi binar. "Kamu benar-benar beruntung, Sha. Karena ketemu pasangan yang nggak mempersoalkan kekurangan kita." Perempuan itu menggeser kursi berodanya, mendekat ke arah Marsha. "Banyak temenku yang sering ngeluh kalau suaminya banyak nuntut. Belum lagi yang cemburuan. Ajaib-ajaib ceritanya dan bikin aku takut nikah."

"Vincent itu nggak cemburuan," respons Marsha. Dia tertawa kecil. "Tapi mungkin juga karena aku nggak pernah dekat-dekat cowok lain kecuali adik-adiknya. Intinya, Vincent itu percaya dan ngasih aku kebebasan."

"Kamu beneran beruntung, Sha," ulang Emma.

"Iya," Marsha setuju. "Kamu nggak perlu takut nikah, Em. Selama masa pacaran, gunakan waktunya itu untuk ngenalin pasanganmu. Kalau ada yang keliatannya nggak beres, ya mundur." Marsha menepuk pipi kanannya sendiri. "Astaga! Aku sok-sokan ngasih nasihat, padahal nikah pun belum genap enam bulan."

"Nggak apa-apa, Sha. Aku memang butuh banyak masukan. Paling nggak, walau baru enam bulan, kamu udah punya pengalaman," timpal Emma.

Nasabah pertama mendatangi meja Marsha tak lama setelah jam operasional dimulai. Si nasabah ingin membuka rekening tapi terpaksa ditolak karena kartu identitasnya tertinggal di rumah. Nasabah kedua, berniat mengecek kiriman uang dari putrinya yang bekerja di luar negeri. Orang yang sama mengaku bahwa dia tak tahu cara menggunakan ATM. Marsha pun dengan sabar mengajari nasabahnya cara untuk memakai ATM.

Born To Love You [Terbit 28 Juni 2023]Where stories live. Discover now