1. Senja Tanpa Jingga

34 2 2
                                    

Namanya Naya, gadis yang selalu memakai topi kabaret berwarna merah padahal dia bukan seorang pelukis. Mahasiswa seni teater yang tidak pernah mendapatkan peran utama, bahkan dalam ceritanya sendiri. Naya tidak tau hari-hari kedepannya akan seperti apa, bahkan hanya seusap lukisan diatas kanvas seolah tidak berwarna.

Naya membenarkan kemeja kotak-kotak hitam kesayangannya dengan celana oversize berwarna cream ditambah sepatu kets berwadna putih. Hanya memoleskan liptin berwarna merah cerry membuat bibirnya sedikit kelihatan segar. Rambutnya yang pendek sengaja dikucir ke bawah. Penampilannya sangat santai, sama sekali tidak menunjukan jati dirinya sebagai anak teater.Naya tidak merasa kesepian. Naya salah satu mahasiswa rajin yang selalu datang tepat waktu di kampus walaupun dirinya hanya memilih tidur di bangku belakang.

Seperti biasa Naya selalu membawa botol minum dengan motif antariksa yang katanyai sudah sangat jadul dengan warna biru tua yang sudah pudar. Kanaya bukanlah seseorang yang gampang sekali bergaul bahkan di kampus teman yang hanya bisa dekat cuma dua orang. Satu orang cewek dan satunya cowok namun tidak ada cinta segitiga diantara mereka bertiga.

Kanaya menuruni anak tangga. Kosantnya terletak di lantai dua. Kadang Kanaya harus narik napasnya dalam-dalam saat mengangkat galon ke lantai kosantnya.

" Bisa ya lo servis motor di bengkel ditinggal nginep gitu aja," kesal Okin sambil memberikan helm pulkadot berwarna pink," jangan sampek lecet, helm punya pacar gue. Bisa-bisanya helm lo ditinggal di bengkel juga."

Namanya Okin, cowok gemulai yang ngerasa lebih nyaman berteman dengan cewek karena dulu sewaktu SMA selalu dibully bertingkah seperti layaknya cewek memakai lipbalm dan pensil alis tipis. Namun bukan berarti Okin tidak seperti cowok normal pada umumnya. Okin masih normal, bahkan tujuan terpenting dalam hidupnya adalah menikah dengan wanita yang mampu menerima keadaannya dan kekurangan yang dimilikinya sekarang ini.

" Lebih tepatnya mantan. Kepala gue bukan terbuat dari baja, gak bakalan bikin helm lo lecet."

" Nggak salah, tumben bener," kekeh Okin," gue santai aja kali gak usah ngebut."

" Buru-buru takut telat," balas Kanaya sekenanya.

" Santai, dosennya ada seminar internasional di Bandung, gak bakalan masuk kelas. Lagian jarak kosant lo ke kampus gak sampek sepuluh menit."

" Lo mau sarapan?" tanya Okin

" Sarapan?"

" Iya sarapan sore hari."

Dulu, Kanaya tidak sependiam seperti. Semuanya berubah bahkan sejak semenit yang lalu. Menurut Kanaya dunia entertainment adalah sebuah mimpi buruk, mimpi yang seharusnya nggak pernah Kanaya kejar.

" Padahal rumah lo ke kampus nggak sampek tiga jam bisa-bisanya memutuskan jadi anak kost. Heran, padahal dirumah lo bisa makan gratis tanpa harus mikirin ayam geprek buat makan besok."

" Rumah gue udah mati," balas Kanaya sekenanya saja," mana ada jarak dari Jakarta ke rumah gue cuma tiga jam! gila lo!"

" Emang lo beda, curiga kalau bukan anak kandung."

Naya tidak pernah bercerita soal keluarganya. Sangat rahasia.

" Iya sepertinya, lagian lo gila nyuruh gue bolak-balik kampus dari rumah gue. Kadang otak lo udah pindah ke dengkul."

" Ya siapa tau, orang tua lo beliin jet pribadi."

" Gue gak sekaya itu."

Naya jarang pulang ke rumah. Bagi Naya, rumahnya bukanlah sebuah rumah yang nyaman untuk dirinya tempati, sangat tidak nyaman bahkan terkesan membuat hidupnya menjadi tidak beraturan seperti ini. Naya sangat lelah jika harus berhadapan dengan hiruk pikuk yang menyesakan setiap hari. Naya memilih mengalah, iya, dari segala-galanya. Naya benci dengan rumah, terkadang rumah yang katanya tempat singgah hanyalah omong kosong yang membuat dirinya semakin dikucilkan. Isi kepala orang-orang yang selalu menuntut hidupnya, sedangkan Naya sendiri tidak tau arah dan tujuan hidupnya bakalan seperti apa. Semua yang pernah singgah ke dalam cerita Naya sudah hanyut terbawa arus waktu, bahkan orang-orang terdekatnya yang dianggap sebagai manusia, tidak pernah memanusiakan dirinya sendiri.

" Bunda, Naya rindu. Kapan pulang?"

Kata-kata itu selalu saja memenuhi isi kepalanya sendiri. Dialog yang hanya bisa dijawab oleh Naya. Dialog yang harusnya nggak pernah diucapkan oleh Naya, namun justru terus-menerus memenuhi kepalanya. Naya benci kenyataan kalau ternyata dirinya hanyalah tokoh sampul dalam ceritanya sendiri. Kehadirannya hanyalah sebagai pajangan. Benar, tidak pernah ada.

" Udah sampek bengkelnya. Mau bareng apa gue tinggal."

" Hah?"

Okin hanya menarik nafasnya kasar dan sadar sepenuhnya kalau Kanaya terlelap dalam lamunannya.

" Besok, gue beliin mesin lamunan biar lo bisa ngelamun tanpa ada yang ganggu."

" Iya maaf," balas Naya kemudian,"lo tadi ngomong apa?"

" Turun, udah sampek bengkel," kata Okin kemudian," gue awasin lo dari belakang. Lo ngeri kalau ngelamun, takut bawa motornya ngawur."

" Gue gak akan ngelamun."

" Gue ngelihat tanda-tanda kebohongan dari mata lo."

****

Satu hal yang Naya benci saat membawa kendaraan adalah harus memarkirkan kendaraannya di parkiran terpadu. Jarak antara parkiran terpadu ke gedung tempat Kanaya cukup membuat kakinya lempoh. Benar-benar sangat melelahkan. Bahkan Naya berpikir sudah menjadi mahasiswa semester 6 masih aja tidak diizinkan parkir di gedung kampus. Hanya mahasiswa semester 9 dan pasca sarjana yang bisa punya akses masuk parkiran gedung kampus. Naya memilih parkir di terpadu, sambil menunggu bus antar fakultas berwarna hijau. Kanaya suka naik bus kampus sambil mendengarkan musik dari platform musik. Sayangnya fasilitas premium yang Naya dengar sudah habis jadi mendengarkan iklan setiap beberapa menit.

" Boleh saya duduk di samping sini?" kata seseorang yang datang dari pintu depan dekat sopir. Satu-satunya kursi yang kosong adalah kursi samping Naya.

Dia laki-laki, namun Naya enggan menyapa lebih lama lagi.

" Iya," jawab Kanaya dingin.

" Hari ini cuacanya bagus kak. Langitnya biru, padahal udah sore. Saya suka lihat langit."

Walaupun berada di posisi duduk yang kurang strategis namun penampakan langit biru masih terlihat jelas dari balik jendela bus kampus.

" Kakak, bisa lihat lebih jelas dari jendela samping kakak."

" Gedung foto kopyan," balas Naaya dingin, tapi view yang dilihatnya saat ini benar-benar berjejer rapih gedung foto kopyan yang terletak di sepanjang jalan.

" Oh, iya. Saya sering mampir ke situ. Harganya murah."

" Iya," balas Naya bodoh amat.

" Maaf, kalau saya berisik."

" Iya, gue terganggu," balas Naya dengan nada dingin dan memilih mendengarkan musiknya kembali.

Seperti biasa, setiap naik bus umum Naya tidak mengobrol dengan siapapun. Meladeni orang asing yang mengajaknya bicara sangat menguras energinya. Tidak ada obrolan lagi. Kini Naya memilih fokus mendengarkan musik dan menikmati dunianya sendiri. Naya terbenam dalam dunianya sambil menatap kaca bus yang tidak menampilkan jejeran foto kopyan lagi melainkan gedung-gedung fakultas.

" Kakak, turun dimana?" tanya seseorang yang berada di sampingnya. Mungkin sudah menjadi hal yang biasa ketika naik bus kampus, entah kelihatan masih maba ataupun sudah mahasiswa mendekati akhir siapapun orang asing yang menyapa bakalan dipanggil dengan sebutan kakak.

" Bisa, tidak nggak ber_"

" Oh, pak! turun di fakultas seni!" teriak Naya panik.

" Lain kali ngomong dari jauh-jauh mbak," omel supir bus tersebut kesal karena harus memberhentikan busnya secara mendadak.

Naya hanya membalasnya dengan ekspresi datar seraya mengatupkan kedua tangannya untuk meminta maaf.

" Kak, ada yang tertinggal!"

Samar-samar, suara itu tidak terdengar lagi. Hari mulai senja, namun matanya terus menatap tidak ada jingga yang terlihat.

 Lakuna dan LukaWhere stories live. Discover now