3. Kata Bukanlah Resah

9 1 0
                                    

Terre mengendarai mobilnya. Melewati jalanan yang jauh dari kata keramaian. Terre sendirian ditemani oleh senyum dan beberapa desiran suara ombak yang mulai terdengar. Di sepanjang jalan, hanya ada deretan pepohonan pinus yang tertata rapih.

Setelah beberapa jam yang sangat melelahkan, Terre akhirnya sampai di villa kecil dengan arsitektur tradisional terbuat dari kayu mahal, salah satunya kayu jati. Terre mulai menghentikan mobilnya, berjalan sambil bucket buah ukuran sedang . Matanya sayu dengan lekat kotak surat bercat merah lalu membuka dan membaca setiap surat yang dikirimkan. Saat Terre membaca kata-perkata, dadanya terasa sesak. Ternyata luka yang selama ini ada bakalan tetap ada.

Terre menekan beberapa bel hingga seseorang membuka bel tersebut.

" Paman!" teriak anak berusia sekitar lima tahunan

" Anak manis, paman ada hadiah tapi paman lupa ambil. Nanti paman ambil dulu."

" Baik paman," jawab anak kecil tersebut.

Gelombang laut terdengar memecah bibir pantai. Aroma garam tercium oleh hembusan laut yang mencapai daratan. Di Villa tua kayu ini Terre dapat memandang luas lautan biru.

" Kapan kesini?" tanya perempuan muda berusia sekitar dua puluh lima tahunan yang masih terlihat belia.

Perempuan yang berdiri dengan rambut coklat memakai pita tersebut lalu menyuruh anaknya untuk masuk," masuk dulu."

Anak kecil berusia empat tahun tersebut mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata.

" Masih tetap asing, kenapa harus membiasakan untuk  memanggil dengan sebutan paman?"

" Ada yang salah dengan sebutan paman?" balas perempuan yang dari tadi sudah ada di depan pintu.

" Tidak," balas Terre dengan cepat

Sebulan ini Terre baru mengunjungi tempat ini. Banyak hal-hal yang Terre sembunyikan selama ini. Bundanya tidak mau Terre sesering mungkin mengunjunginya.Bundanya tidak pernah menginjinkannya. Kata-kata hangat sederhana tapi kadang membuat hatinya terluka. Kata-kata menyayat hati yang seharusnya tidak pernah Terre dengar. Masa lalu yang seharusnya Terre tutup rapat-rapat harus Terre buka kembali tanpa ada yang pernah memintanya.

" Seharusnya gak boleh seasing ini."

" Mungkin ini karma di masa lalu buat aku. Karma emang nyata tapi aku gak sadar aja sama yang udah terjadi saat ini. Entah Tuhan yang jahat atau sangat baik sampai nasib aku jadi gini. Gak ada yang bisa disalahkan. Semua yang terjadi biarin aja terjadi. Mau gimana pun ini semua salah aku dan waktu."

" Tapi kita masih tetap keluarga, mau sampai kapanpun," elak Terre.

" Kamu sekarang udah belajar untuk jadi orang dewasa."

" Bukan belajar tapi paksaan hidup. Gak ada yang bisa memilih mau hidup seperti apa dan tujuannya mau kaya apa."

" Kamu pulang saja. Ini beneran rumah buat aku."

" Rumah yang selama ini separti penjara?"

" Aku gak pernah ngerasa seperti tahanan. Cuma butuh banyak ruang aja buat sembuh."

" Tapi gak ada yang tau kapan sembuhnya."

" Mungkin besok," jawabnya sangat sederhana.

Terre beranjak dari tempat duduknya," tolong sampaikan salam untuk Aruna. Sebentar aku ambilin hadiah dulu."

" Dari bunda?"

Terre menggelengkan kepalanya," bunda masih tetap sama gak berubah. Rasa benci itu masih ada sampai waktu yang gak bisa dipastikan."

" Sudah aku tebak. Gak akan pernah ada ruang untuk aku."

****

Kanaya membuka lemarinya. Melihat paperbag bunga berwarna biru yang langsung membuat matanya memerah. Banyak orang berpura-pura peduli atau bahkan baik kepadanya hanya ingin mendapatkan validasi dari orang lain. Namun hal tersebut tidak membuat Kanaya memberikan nilai A+ pada orang tersebut. Kini, yang ada hanyalah emosi, luka dan amarah yang terpaksa Kanaya tahan.Kanaya meremas gaun tersebut, dilihatnya gaun cantik selutut berwarna merah muda dengan hiasan cantik dibagian roknya.

" Kenapa kenangan ini datang kembali? sedangkan tidak pernah diminta.

****

Hari-hari Naya seperti awan yang kehilangan langitnya, Naya berjalan dengan langkah lunglai, setelah memarkirkan motornya tepat di depan rumah makan yang masih buka. Salah satu karma yang selalu Naya terima adalah evaluasi diri. Naya hanya sibuk memikirkan isi kepalanya sendiri. Setelah melakukan kesalahan, Naya merasa bersalah sudah melakukan hal buruk. Naya terus-menerus mengutuki dirinya sendiri, walaupun Naya kadang bingun kesalahan apa yang udah dilakukannya saat ini untuk dirinya sendiri. Bumi seperti sengaja menjebaknya ke dalam situasi mencekam seperti ini. Laju sang waktu seakan memaksa dirinya untuk berhenti.

Malam semakin dingin, Kanaya merasakan dinginnya udara berhasil menusuk sampai ke ujung tulangnya. Berjalan sendirian lalu sengaja memarkirkan motornya di rumah makan, tempat dimana sahabat lamanya berkerja. Hidup Naya memang serandom ini, mungkin juga sudah mulai hancur.


" Masalah lagi?" katanya kemudian, Eksa satu-satunya yang masih dianggap sebagai saudara dalam hidup di perantauan. Bedanya Naya menghabiskan uang sedangkan dia mengumpulkan banyak uang untuk bertarung dengan berisiknya dunia fana.

" Banyak yang benci kehadiran gue di dunia ini."

" Makan dulu, gue yang bayarin lo."

" Lo bekerja bukan buat jamin jatah makan gue hari ini."

" Hidup gue emang menyedihkan Nay, tapi hidup lo rapih gak kelihatan menyedihkan kaya gue. Kadang gue mikir, lo masih kuat bertahan sampai di titik ini udah berhasil buat gue sadar kalau ternyata gue sama lo sama-sama ngerasain kisah yang sama. Bedanya gue biasa aja sedangkan lo terlahir sebagai orang kaya."

" Setidaknya lo masih punya kesempatan makan malam semeja dengan orang rumah disertai tawa."

" Lo kalau kangen rumah pulang Nay," Eksa menyapukan roknya yang terkena noda makanan.

" Gue hanya beban bagi orang tua gue. Gak bisa diharepin."

" Lo terlalu buruk nilai diri lo sendiri, padahal lo hidup dari uang orang tua lo."

Ini bukan pertama kalinya Naya menitipkan motornya ke sahabat lamanya, namun mungkin hampir setiap Naya ada masalah. Naya takut dirinya terbawa emosi yang membuatnya tidak fokus untuk mengendarai motornya. Biasanya Faras akan menitipkannya di ruang belakang untuk meletakan motor Naya.

Salah satu tempat yang Naya tuju adalah minimarket. Sesampainya disana Naya memilih untuk membeli sebotol minuman bersoda untuk melegakan dahaganya.

" Kak, gak baik malam-malam minum soda. Nanti gak bagus buat kesehatan kamu."

Samar-samar suara tersebut menelisik memasuki sepasang indra pendengarannya. Suara tersebut terdengar sangat nyata dan tidak asing.

Naya menundukan kepalanya. Menenggelamkan wajahnya di balik lengan tangannya yang rapuh. Meletakan sekaleng minuman soda di sampingnya. Naya merasa dunia berputar sangat lambat yang membuatnya masih terjebak pada suatu titik yang sama. Titik yang membuat hidupnya berputar-putar tanpa punya arah dan tujuan. Naya hanya memikirkan ketakutan pada dirinya sendiri. Perasaan hampa yang gak tau untuk siapa.

" Jalanan bukan rumah, pulang kalau pengen ngerasa tenang. Jangan disini, dingin."

Sayup-sayup suara lirih lambat laun terdengar cukup jelas yang membuat Naaya langsung mendongakan wajahnya. Penampilan yang menurutnya tidak asing. Seseorang yang sengaja tidak memunculkan batang hidungnya entah kemana. .

" Nggak lagi mabuk kan?"

Iya, Naya sadar, siapa seseorang yang tepat berada di depannya.

Dia lagi....

 Lakuna dan LukaWhere stories live. Discover now