6. Pasar Rabu

6 1 0
                                    

Naya meletakan lily berwarna merah muda diatas meja belajar. Matanya menelisik setiap helain kelopak tersebut. Tidak ada yang istimewa selain raut wajahnya yang kelihatan biasa saja. Menurutnya lily hanyalah kebetulan pertemuan dengan orang asing yang tanpa sengaja memberinya hadiah.

" Suka nggak sama bunga lilynya?" tanya Terre saat bertemu kembali dengan Naya di gazebo dekat beringin kembar. Sedangkan Naya sendiri masih sibuk dengan naskah teks dialognya, Terre datang. Mahasiswa fakultas teknik semester lima itu kelihatan santai gak punya kesibukan lain padahal mukanya terlihat lelah begadang semalaman mengerjakan laprak.

" Lilynya gue kasih tetangga."

" Beneran?" ucap Terre diiringi wajah kecewa.

" Gue gak nyuruh lo buat percaya sama gue," balas Naya," Lily yang lo kasih masih ada."

Terre menyunggingkan senyumnya saat mendengar penataran Kanaya soal Lily. Lily punya kisah sendiri. Tak seharum bunga melati, tak sekuat bunga mawar dengan hiasan duri. Lily punya makna yang melambangkan pertemuan, rasa suka atau hanya sebagai ungkapan terima kasih saja.

" Gue benci kebetulan. Gue kadang masih aja bertanya-tanya. Seharusnya emang gak perlu, pertanyaan itu gak ada jawabannya. Percuma juga."

" Apa yang menuhin isi pertanyaan itu?"

" Lo," kata Naya mengisyaratkan sambil menyapukan pandangannya ke arah Terre," iya, elo. Tanpa lo sadari gue benci kata kebetulan. Gue gak biasa harus maksa akrab bertemu orang baru. Mungkin kedepannya lo bakalan banyak kecewa berteman dengan gue."

" Saya gak mempermasalahkan itu kak."

Naya menyunggingkan senyum sinisnya," lo kaya sengaja ngajak gue ke florist buat milih bunga terus lo ngasih gue bunga buat sengaja ngikat gue dengan kata pertemanan. Dunia lo terlalu sibuk buat berteman dengan gue yang gak punya kesibukan dan suka dengan kesenyapan. Lo tersesat buat milih jadi temen gue. Persis kaya perahu ga ada pengemudinya. Terombang-ambing gak jelas."

" Seni teater punya banyak dialog ya, sampai saya gak sadar kalau kakak udah banyak ngobrol dengan saya."

" Bukan dialog drama."

" Lalu?"

" Gue sengaja omongin di depan orangnya langsung ketimbang ngomongin di belakang."

Terre mengerti apa yang ingin Naya bawa dalam obrolannya. Sikapnya yang menunjukkan bahwa Naya tidak terbiasa berbicara dengan orang baru dalam hidupnya, mungkin aja Naya tidak membiarkan ada orang baru lagi dan menutup kisahnya dengan waktu yang cukup dipaksakan.

"Mau permen kopi?" tawarnya kemudian, "permen kopi bisa ngatasin gngantuk buat yang semalaman begadang ngerjain tugas kuliah," papar Terre," beneran ga mau kak?"

" Jangan kecanduan kopi, gak baik buat lambung."

" Saya terbiasa dengan kopi."

" Kedepannya jangan dibiasakan lagi minum kopi, lo masih hidup lambung lo harus berkerja dengan baik."

" Iya, makasih nasehatnya tuan putri."

" Gue gak suka dipanggil tuan putri."

" Saya salah ngomong, maaf," lirih Terre.

" Mau salah ngomong atau nggak, lo bukan pangeran yang gue tungguin selama ini."

Sederhana namun tajam seperti sebilah pedang.

****

" Lo teknik, tapi heran gak kelihatan sibuk."

" Emang mahasiswa teknik harus kelihatan sibuk ya?"

 Lakuna dan LukaWhere stories live. Discover now