18. Kisah di Lampu Merah

2 0 0
                                    

"  Ada yang kurang," ucap Terre  yang membuat sepasang alis tipis milik Naya saling bertaut," hadiah. Perayaan ulang tahun butuh hadiah. Saya melupakan satu hal. Pasti akan jadi hari yang panjang."

Hadiah, setiap perayaan ulang tahun mengharuskan hadiah sebagai teman untuk mengukir kebahagian. Tidak ada yang istimewa dari ulang tahun selain membuka kado, katanya begitu. Hadiah-hadiah sederhana yang membuat raut wajah menunjukan senyum tulus dan harapan di pertambahan umur.

" Kapan acara ulang tahunnya dimulai?" tanya Naya tepat saat mereka berhenti tepat di depan lampu merah.

Terre sengaja tidak memberikan jawaban seiring suara nyanyian anak kecil dengan topi lusuhnya  memainkan melodi ukulele mengelilingi jalanan yang berisik. Dua anak kecil mendekati ke arah mobil Terre. Tangan kanannya memegang bungkus permen yang sudah dibalik untuk kepingan rupiah. Wajahnya lelah, meminta belas kasih sebagai bekal makan hari esok. Ada juga gadis kecil mungil berkucir kuda dan sandal jepit lusuh yang menawarkan tissue dan gantungan kunci. Naya mengeluarkan beberapa lembar kertas dari slinbag miliknya untuk anak yang tiba-tiba menghampiri mereka berdua.

" Namanya siapa?" pertanyaan yang secara spontan Naya ucapkan.

Anak kecil berambut kucir kuda tersebut terdiam tanpa memberikan jawaban. Naya tidak bisa memaksa tersenyum tapi melihat anak kecil tersenyum tulus membuat Naya bisa sedikit mengekspresikan dirinya. Manik mata Naya berkaca-kaca saat gadis kecil tersebut mengucapkan terima kasih dengan lirih. Terre mengambil uang dari dasbord miliknya membeli tissue yang dijual anak-anak lainnya tanpa meminta kembalian.

" Kakak beli semua ya tissuenya," ucap Terre membeli semua tissue yang tinggal tersisa lima biji.

" Terima kasih kakak. Semoga kakak diberi rezeki lebih sama Tuhan."

" Amiin," ucap Terre disertai senyuman.

Terre menutup kembali dasbordnya. Sedangkan Naya kini terdiam dengan wajah sendunya. Terre dapat merasakan atmosfer perasaan yang Naya rasakan saat ini. Manusia yang menurutnya hidup tanpa ekspresi ternyata punya perasaan tersembunyi yang dirahasiakan. Dua pasang manik mata tersebut memandang sekelilingnya. Banyak sekali anak-anak kecil yang harusnya bermain malah justru harus menjadi tulang punggung. Gambaran nyata yang gak cuma cerita dari kisah sinteron TV tapi sesuatu hal yang lumrah di kota besar, apalagi Jakarta.

" Anak-anak seperti mereka dipaksa bertarung dengan kota. Saya kadang takut mereka sengaja dimanfaatkan orang lain."

" Gak ada yang mau memilih kaya gini," timpal Naya sambil terus melihat ke arah lainnya.

Anak-anak berusia sekitar sepuluh tahunan tersebut mulai menghilang menyingkir ke pinggir jalan seiring pergantian lampu menjadi hijau.
Naya menarik nafasnya dalam-dalam. Selama ini Naya mengira hidupnya kosong dan melelahkan sedangkan ada sosok lain yang semangat dengan hidupnya. Naya masih melihat secara khusus ke arah anak kecil tadi.

" Soal perayaan ulang tahun gak ada waktu secara khusus. Gak keberatan kalau hari ini bakalan lama."

" Gue tadi udah bilang mau minjemin waktu ini seharian."

" Tumben, atas dasar apa?"

" Gak tau. Gue cuma ngiyain aja, gak punya alasan yang lain."

****

Mereka berdua berhenti di toko mainan anak kecil. Tadi sepanjang perjalanan Naya hanya terdiam tanpa suara. Terre tidak mau menebak-nebak dan mencari alasan Naya terdiam. Lagipula Naya tidak mau berbicara kalau tidak ada yang memulai pembicaraan terlebih dahulu. Terre memberikan ruang untuk Naya sibuk dengan pikirannya sendiri.

Naya mengikuti Terre dari belakang karena tidak mau berjalan bersampingan.

" Gue masih kepikiran anak kecil tadi. Merayakan ulang tahun, sedangkan anak kecil tadi gak tau kapan dirinya dilahirkan," tiba-tiba Naya membuka pembicaraannya.

 Lakuna dan LukaWhere stories live. Discover now