"He-eh. Karena baru ini ketemu motif The Iron Throne, Vin," sahut sang istri.

Vincent naik ke ranjang setelah menyalakan lampu tidur. Dia menarik Marsha ke dalam dekapannya. "Ah, ternyata kamu yang jadi istriku." Dia mengecup rambut perempuan itu.

"Ah, ternyata kamu yang jadi suamiku," Marsha membeo. Dia memeluk pinggang Vincent. Lelaki itu tergelak. Dagu Vincent menempel di kepala perempuan itu. "Seharian ini, rasanya kayak mimpi, Vin. Apalagi pas mulai resepsi. Kukira, semuanya akan biasa-biasa aja, kayak acara pesta pada umumnya. Ternyata, kamu bikin jadi istimewa," pujinya.

Ya, hingga sesaat setelah resmi menjadi istri Vincent pun, Marsha tak pernah membayangkan dirinya akan mendapat resepsi yang mengejutkan. Dia tak pernah terpikir jika Vincent akan memikirkan ide yang begitu unik dan membuat takjub.

"Apa aku berhasil bikin kamu hepi, Sha?" gumam Vincent dengan suara lembut.

Marsha bergerak perlahan agar bisa lebih leluasa menatap suaminya. "Banget, Vin. Konsep foto prewedding aja udah ngagetin. Tadinya kukira foto-fotonya cuma bakalan kita pajang di rumah. Intinya untuk konsumsi pribadi. Tapi, aku suka banget sama idemu. Sengaja foto dengan gaya meniru poster dari film favoritku, sama sekali nggak pernah kepikiran. Makanya tadi kaget banget pas ngeliat hasilnya. Beneran keren banget."

"Aku sempat deg-degan, takut kamu nggak suka lho, Sha."

"Ish, mana mungkin aku nggak suka? Tapi, masterpiece-nya memang pas turun dari mobil. Bagian depan aula tadi, betul-betul unik dan istimewa. Trus, kita jadi artis yang mau hadir ke premiere film, difoto paparazi. Ah, aku nggak bisa ngegambarin perasaanku. Super hepi, pokoknya. Makasih ya, Vin. Kamu dapat idenya dari mana, sih?" tanyanya, ingin tahu.

"Awalnya, gara-gara ngeliat klipnya Charlie Puth. Lagu One Call Away. Pernah nonton?" Vincent balik bertanya.

"Pernah, dong!" Marsha menatap suaminya dengan senyum lebar. "Jadi, dari situ idenya? Nyontek bagian depan bioskop?"

"Iya," Vincent tersenyum. "Trus, aku diskusi sama Taura dan Hugo. Aku juga berkali-kali nelepon Kakek. Untungnya, semua ngasih dukungan. Kakek bahkan kayaknya kagum karena aku punya ide jenius," selorohnya.

Marsha tertawa. "Aku nggak bisa bayangin repotnya Kakek nyiapin semuanya."

"Yang paling susah, minta semua tamu untuk sembunyi dulu pas kita sampai sini. Banyak yang protes, termasuk Mamaku. Untungnya Papa bisa bujukin. Gitu, deh."

Kamu ...."

"Sha, tau, nggak? Kamu hari ini cantik banget. Dari tadi, aku pengin nyium kamu. Tapi, walau kamu udah jadi istriku, tetap aja nggak berani nyium di depan Kakek. Pasti dianggap nggak sopan, trus dipanggil 'Vicenza' di depan umum. Kalau ...."

Kata-kata Vincent tak tergenapi karena Marsha sudah mencium bibirnya dengan lembut. Vincent membalas dengan sama lembutnya. Hingga Marsha seolah melayang, berada di dunia asing yang sama sekali tak dikenalnya. Refleks, tangan Marsha pun bergerak, mulai meremas rambut suaminya.

Mereka berciuman panjang, lama, hingga bintang-bintang seolah meledak di sekeliling Marsha. Vincent akhirnya menjauhkan wajahnya karena nyaris kehabisan napas. Bibir Vincent berubah memerah dan agak membengkak. Marsha baru benar-benar bisa membuka matanya setelah beberapa detik berlalu.

"Kita nggak punya es krim, Vin," desahnya dengan suara rendah. Tawa Vincent terdengar sebagai respons untuk kata-kata Marsha.

"Di sini memang nggak ada. Tapi, di rumah, ada banyak. Aku udah beli sebelum terbang ke sini."

"Di rumah siapa? Rumah mamamu?" Marsha mengernyit.

"Ya nggak lah! Di rumah kita. Aku udah beli tujuh rasa." Vincent mengusap bibir bawah Marsha dengan jempol kanannya. "Jadi, sabar, ya? Toh, besok kita udah balik ke Bogor dan kita langsung pulang ke rumah. Kita berbulan madu di rumah sendiri."

Marsha mengangguk dengan pipi terasa panas. Ah, tapi mereka sudah menjadi suami istri, sudah halal untuk melakukan semua aktivitas yang berkaitan dengan keintiman yang melibatkan pasangan.

Mereka memang tidak merencanakan untuk berbulan madu. Karena Marsha belum bekerja setahun penuh. Makanya, perempuan itu belum berhak mengambil cuti. Itulah sebabnya mereka hanya menginap dua malam di Ubud, sebelum kembali ke Bogor besok. Lusa, yang bertepatan dengan hari Senin, Marsha harus bekerja seperti biasa.

Perempuan itu bersyukur karena Vincent dan keluarganya tidak rewel tentang masalah itu. Tidak ada permintaan supaya Marsha berlibur beberapa hari karena ini hari istimewanya, misalnya. Semua memaklumi kondisi perempuan itu. Dia dan Vincent juga sepakat, mereka akan berbulan madu setelah Marsha bisa mengambil cuti.

"Kamu pasti capek, kan? Tidurlah, Sha. Pasti capek banget selama tiga bulan belakangan, kan? Maksudku, secara mental. Karena cemas ini-itu." Vincent mempererat dekapannya.

"He-eh," sahut Marsha. Pipi kanannya menempel di dada Vincent. "Kamu bener, aku memang cemas nggak keruan, kadang sampai ke hal-hal yang nggak penting. Ternyata, mau nikah itu bikin stres ya, Vin. Dulu, kukira orang-orang berlebihan kalau bilang calon pengantin sering berantem pas dekat hari-H. Sekarang, ngerasain sendiri. Padahal, kita bisa dibilang nggak ngurus apa-apa, tinggal terima beres."

"Aku nggak akan lupa gimana kamu senewen dan ngomel bermenit-menit cuma gara-gara kita milih model sofa yang beda. Ampun ya Sha, aku nggak ikut-ikutan lagi urusan perabotan rumah. Kamu pilih aja yang kamu suka."

Marsha tertawa. "Maaf, Vin. Aku pun nggak tau kenapa jadi sebawel itu. Untungnya kamu sabar banget."

"Aku memang penyabar, Sha. Itu salah satu kelebihanku," sesumbar Vincent.

"Hahaha, iya. Aku tau." Marsha menguap. "Betisku pegal, telapak kaki pun sakit. Padahal cuma berdiri beberapa jam, tapi rasanya capek."

"Istirahatlah, biar besok udah segar lagi," ucap Vincent. Lelaki itu mengelus punggung istrinya.

"Aku bobo dulu ya, Vin. Besok, pengin nyium kamu yang lama. Pakai es krim tapinya."

"Iya, Sha. Besok, di rumah kita," janji Vincent.

"Eh, sebentar! Aku cuma penasaran." Marsha agak mendongak untuk menatap pria yang sudah resmi menjadi suaminya. "Apa pengantin baru yang lain, selalu bercinta di malam pertama setelah mereka nikah? Nggak capek setelah resepsi dan sebagainya? Apa kita doang yang beda dan bikin kesepakatan aneh gini?"

Vincent tertawa terbahak-bahak. "Aku nggak tau, Sha. Nanti coba kutanya sama Hugo dan Taura."

"Astaga! Ngapain kamu tanya sama mereka? Yang ada, ntar pasti kita diledekin. Aku, sih tepatnya yang bakalan diolok-olok." Marsha tergelak. "Ah, mulutku ini memang kadang ajaib. Yang kayak gitu pun ditanyai."

"Nggak apa-apa, Sayang," gumam Vincent, lalu dia mencium bibir Marsha sebentar. "Mulut kamu memang ajaib. Enak dicium, Sha."

"Vin, jangan ngomong jorok!" sergah Marsha. Wajahnya memanas seketika.

"Ya ampun! Apanya yang jorok dari kata-kataku tadi?" Vincent tak terima.

"Nggg ... aku kan jadi ... mikir yang aneh-aneh. Mulut yang enak dicium itu maksudnya gimana? Apa ...."

"Sini, kukasih tau," sergah Vincent. Lelaki itu bergerak hingga bertumpu pada siku kirinya. Lalu, Vincent menunduk untuk mencium Marsha. Menerjemahkan kata-katanya tadi dengan bahasa cinta yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata.

Ketika Vincent mengakhiri ciumannya yang membuat tubuh Marsha bergetar oleh cinta dan gairah, perempuan itu berbisik. "Vin, aku udah nggak capek lagi. Kurasa, kita harus mengubah rencana soal hmmm ... itu. Kamu keberatan, nggak?"

Vincent mengerjap. "Kamu yakin?"

"Kamu keberatan, nggak?" ulang Marsha.

"Cuma laki-laki idiot yang keberatan. Dan kamu tau kalau aku nggak idiot sama sekali," celoteh Vincent. Tanpa menunggu respons istrinya, Vincent kembali melumat bibir Marsha.

Malam itu, mereka melewati pengalaman menakjubkan yang begitu intens, jauh melampaui bayangan Marsha. Setiap detiknya perempuan itu merasa bahwa cintanya pada Vincent kian bertumbuh saja. Ternyata, seperti itulah rasanya bercinta. Ketika Marsha menyerahkan hati dan tubuhnya pada pria yang dicintainya, dunianya menjadi jungkir balik. Dia terlalu bahagia hingga takut jika semua itu tidak nyata.

Lagu : Close To Heaven (Color Me Badd)

Born To Love You [Terbit 28 Juni 2023]Where stories live. Discover now