"Kamu juga istimewa buatku, Vin. Mungkin, jauh lebih spesial dibanding yang kamu tau," ucap Marsha.

"Aku tau, kok! Kalau aku nggak spesial, kamu nggak bakalan nekat nyium aku di sini. Untungnya kaca mobil ini beneran gelap. Jadi, nggak keliatan dari luar." Vincent tertawa kecil sambil mengusap rambut Marsha. "Kita makan dulu, ya?"

"Oke. Karena ini hari Jumat, aku pengin nonton, Vin. Mau?"

"Mau, dong!"

"Nggak perlu balik ke kosan dan mandi dulu, kan?"

Vincent malah mengendus-endus di dekat Marsha. "Nggak usah. Kamu wangi, kok!"

"Ish, Vincent! Jelas-jelas aku bau gini. Bikin malu aja," protes Marsha.

Mereka menyantap makanan sunda yang selalu menjadi favorit Vincent. Setelah itu, Marsha dan pacarnya pun berencana menonton di bioskop. Keduanya menuju Botani Square. Namun, karena film yang ingin dinikmati ternyata sudah diputar selama beberapa menit, mereka memilih meninggalkan mal itu. Entah Vincent menyadari atau tidak, Marsha sedikit lebih pendiam. Dia memikirkan ajakan menikah dari Vincent sejak tadi.

Mungkin Marsha akan butuh waktu berhari-hari untuk mengambil keputusan. Atau malah berminggu-minggu? Dia tentu saja tak mau berpisah dari Vincent. Akan tetapi, menikah sama sekali belum terpikirkan. Karena itu adalah fase hubungan yang masih terasa begitu jauh dari dunia Marsha. Namun, faktanya, Vincent berinisiatif mengajak untuk berumah tangga. Marsha sudah menggigit bibir demi memastikan dia tidak sedang bermimpi. Rasanya sakit. Jadi, ya, ini memang bukan mimpi.

Mereka baru saja masuk ke dalam mobil saat ponsel Vincent berbunyi. Sambil memasang sabuk pengaman, Marsha mendengar sang pacar menyebut nama si penelepon. Adik bungsunya.

"Mau nggak kalau kita mampir sebentar ke rumah Hugo, Sha? Dia lagi butuh dukungan karena lupa kalau hari ini ulang tahun Domi." Vincent tertawa kecil. "Sekarang, Hugo mau pura-pura kalau dia sudah menyiapkan pesta kejutan tapi nggak berjalan mulus gara-gara Taura lupa pesan makan malam." Lelaki itu geleng-geleng kepala. "Skenarionya kayak gitu."

"Taura setuju kalau dia yang jadi kambing hitam?" Marsha menyeringai.

"Setuju. Makanya Hugo nelepon aku, minta kita datang ke rumahnya. Tugasku, beli kue ulang tahun untuk Domi." Vincent menyalakan mesin mobil. "Gimana?"

"Oke. Dengan senang hati aku bakalan ikut merayakan hari spesial Domi," kata Marsha. "Kita beli kue ulang tahun di Blue Moon aja, ya? Kuenya nggak pasaran dan rasanya enak. Lokasinya juga searah sama rumah Hugo," usul Marsha, menyebut nama toko kue yang belakangan menjadi primadona di Bogor.

"Boleh. Tapi, aku nggak terlalu paham soal kue ulang tahun, Sha. Ntar, kamu yang pilihin, ya?"

"Aku yang pilihin dan aku juga yang bayar, ya? Kado dari kita berdua."

Vincent menggumamkan persetujuan. "Berarti sekarang kita langsung ke toko kue sebelum menyerbu rumah Hugo, ya?"

Setelah tiba di Blue Moon, mereka pun berhadapan dengan etalase yang dipenuhi banyak kue cantik. Sudah pasti, blackforest tidak menjadi pilihan Marsha. Begitu juga dengan opera cake, cheese cake, atau red velvet cake. Marsha membeli sebuah lemon, raspberry and rose layer cake yang di bagian atasnya berhias macaron mini.

Marsha dan Vincent sudah ditunggu ketika tiba di rumah Hugo. Taura membeli banyak makanan yang dipesan dari restoran yang menyediakan makanan Yogyakarta. Hugo berakting kesal pada kakaknya karena Taura lupa hari istimewa Dominique dan tak bisa dihubungi. Sementara alasan keterlambatan Vincent diakui Marsha sebagai kesalahannya. Hasil berimprovisasi di perjalanan tadi.

"Maaf semuanya, kami telat karena aku ketahan di kantor. Tadi ada nasabah yang komplain dan bikin masalah. Vincent udah jemput dari sore, tapi terpaksa nunggu aku kelar." Dia menyerahkan kotak berisi kue ulang tahun pada Hugo. Lalu, Marsha mendekati Dominique dan mengucapkan selamat ulang tahun sembari mencium kedua pipi perempuan itu.

Dia selalu merasa senang dan nyaman berada di tengah keluarga Vincent. Adik-adik dan kedua ipar lelaki itu, selalu menyambutnya dengan tangan terbuka. Keempatnya menolak disapa dengan embel-embel sebutan tertentu. Semua hanya ingin dipanggil dengan nama mereka saja. Hal sederhana itu, awalnya membuat Marsha kurang nyaman. Namun, makin ke sini, hal itu membuat hubungan mereka menjadi tak berjarak.

"Kalian nggak makan?" tanya Hugo dengan tatapan terarah pada Vincent dan Marsha

"Wah, aku nggak sanggup makan lagi. Tadi udah keburu lapar," sahut Vincent.

"Walah, padahal Kak Taura beli banyak banget makanan. Mungkin untuk menebus perasaan bersalahnya. Gara-gara dia, Domino udah ngira kalau aku lupa ulang tahunnya. Padahal, memang niatnya mau ngasih kejutan."

Marsha menahan tawa karena dua alasan. Pertama, mendengar panggilan unik dari Hugo untuk istrinya. Dia masih tetap merasa geli mendengar "Dominique" diubah menjadi "Domino". Kedua, karena melihat pelototan Taura pada Hugo yang sedang berlagak menjadi korban. Taura pasti sedang berusaha mati-matian menahan diri agar tak berkomentar untuk membongkar dusta adiknya.

Yang menggembirakan, Dominique tampaknya percaya dengan skenario yang disusun oleh kakak beradik Ishmael. Perempuan itu terlihat bahagia mendapat "kejutan" dari suaminya. Dominique bahkan memuji-muji cake yang dibawa Marsha dan mengagumi hiasannya yang cantik. Aileen pun mengekori sang nyonya rumah dan berhasil meraih salah satu macaron. Untungnya Dominique sudah meniup lilin.

"Makasih ya, Sha. Kamu udah bikin Domino hepi," bisik Hugo ketika istrinya meninggalkan ruang tamu. Aileen mengekori perempuan itu. Sementara Sarah sudah tertidur di kamarnya sejak tadi.

"Sama-sama. Tapi, karena tadi terpaksa bohong, aku nggak mau nanggung dosanya," gurau Marsha. Vincent yang baru datang dari kamar mandi, duduk di sebelah kiri Marsha. Lelaki itu menempelkan tangan kanannya di punggung sang pacar.

"Sama Marsha aja bilang makasih. Giliran aku, disalahin melulu," kritik Taura. "Untungnya hari ini aku lagi hepi, makanya nggak tega mau ngasih tau Domi kalau suaminya penipu ulung yang suka manfaatin orang lain." Taura melirik Inggrid yang duduk di sebelah kanannya. "Mereka boleh kukasih tau ya, Ing?"

Inggrid tersenyum lebar sembari mengangguk. "Tunggu Domi dulu, ya?"

"Pasti! Mana mungkin Domi yang belakangan tau? Bisa-bisa kita di-blacklist dari daftar tamu yang boleh datang ke sini," canda Taura. Lelaki itu memeluk istrinya sebelum mencium pelipis Inggrid.

"Ada berita apa?" sela Dominique yang sudah kembali bergabung di ruang tamu. Aileen berada dalam gendongannya. Anak itu sedang menikmati satu macaron lagi.

"Ada berita bahagia dari kami," kata Taura sembari memandang ke semua orang. Wajahnya dipenuhi binar. "Istriku yang cantik ini sedang hamil. Tadi sore kami ke dokter untuk memastikan ini. Sudah enam minggu."

Ucapan selamat pun menghujani pasangan itu dari berbagai penjuru. Marsha bisa ikut merasakan kebahagiaan yang menaungi Taura dan Inggrid. Dia pun memandangi Aileen yang kini berada di pelukan ayahnya dengan wajah dan tangan belepotan krim. Dengan sabar, Taura mengelap noda yang menempel di kausnya dengan tisu basah. Aileen sungguh beruntung karena memiliki orang tua yang begitu mencintainya meski Taura dan Inggrid tidak memiliki hubungan darah dengan anak itu.

Memandangi Aileen, Taura, Inggrid, dan cinta yang menaungi rumah pasangan Hugo dan Dominique, Marsha pun tercerahkan. Entah bagaimana, apa yang dilihatnya hari itu menumbuhkan keyakinan yang memberi keberanian pada Marsha. Dia sempat melirik Vincent. Lelaki itu sedang tersenyum sembari menatap Taura. Tangan kanan Vincent masih mengelus punggung sang kekasih.

"Aku juga punya berita bahagia," kata Marsha. Elusan Vincent di punggungnya, mendadak berhenti. Gadis itu menoleh ke kiri, menatap lelaki yang dicintainya. Ucapan selanjutnya ditujukannya pada Vincent. "Aku setuju nikah sama kamu, Vin."


Lagu : Marry You (Bruno Mars)

Born To Love You [Terbit 28 Juni 2023]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang