14. Diputuskan

Mulai dari awal
                                    

Budhe Dewi mengabaikan Lita. Sekarang dia justru terlihat tertarik dengan Surya.

"Kenal Winka di mana?"

Winka melirik Surya dengan cemas. Berusaha melemparkan kode kepada pria itu supaya tidak berkata macam-macam pada Budhe Dewi.

"Kami dikenalkan oleh Om Bram." Surya tahu bahwa Winka tidak akan membiarkannya lolos dengan mudah setelah ini. Tapi melihat kecemasan pada wajah gadis itu, justru memicu Surya untuk menggodanya terus-terusan.

"Bram Winata?" Nada suara Dewi jelas terdengar tidak suka. "Bapakmu itu, mau jadi Mak Comblang?" tanyanya pedas.

"Mama!" Galih memeringatkan ibunya.

Dewi justru mengibaskan tangan, menolak untuk dihentikan. "Kamu tahu nggak kalau Bram Winata itu nggak punya otak?" tanynaya pada Surya.

Surya diam-diam meringis dalam hati. Dewi Mahendra tidak saja terlihat angkuh, tapi juga berlidah tajam. "Sejauh ini, yang saya tahu Om Bram cukup sukses menjalankan bisnisnya."

"Bukan itu." Dewi berdecak. "Dia kan brengsek banget."

"Mama!" Kali ini Galih memeringatkan agak sedikit keras.

"Ya, memang brengsek, 'kan?" Dia menatap Lita, meminta pembelaaan. Lita mendengkus. Kakak iparnya ini memang benar-benar sesuatu. Dewi lalu kembali lagi pada Surya. "Kalau kamu dikenalkan pada Winka, pasti Bram nggak cuma basa-basi doang."

Surya harus mengakui kalau Dewi Mahendra adalah lawan bicara yang tangguh.

"Kami dijodohkan."

"Tuh kan! Kubilang apa? Bram Winata itu memang brengsek!" Kalimat itu diucapkan dengan nada wajar, tapi semua orang di ruangan itu tahu kalau Dewi Mahendra sebenarnya begitu kesal. "Jangan mau, Win! Hidupmu nggak boleh dikendalikan oleh pria macam Bram Winata!"

"Nggaklah! Aku masih waras." Winka menggaruk kepalanya sambil melirik Galih.

Pria itu menghela nafas. Sikap blak-blakan ibunya adalah bawaan lahir. Galih tidak bisa memprotes, karena sifat itu juga menurun padanya.

"Winka sudah besar untuk bisa menentuan sikap, Ma."

"Mama tahu, tapi Mama nggak bisa percaya sama Bram Winata." Dia lalu menatap tajam pada Surya. "Kamu kenapa mau-maunya dijodohin sama cewek aneh macam Winka?"

Setelah dilambungkan, Dewi Mahendra sukses menjatuhkan gadis itu hingga babak belur.

"Hasil tes kesehatan terakhirku normal," kata Winka nggak terima.

Surya tertawa. "Winka unik."

"Ya, kalau lihat hobinya gonta-ganti warna rambut, dia bukan unik lagi."

Galih diam-diam tersenyum kecil. Winka yang melihat hal itu hanya dapat memutar bola matanya.

"Apa pun itu, Tante, saya tertarik dengan Winka."

Budhe Dewi tiba-tiba memerlihatkan wajah serius. Wanita itu melipat kedua lengannya di depan dada.

"Saya juga serius saat bilang kalau Bram nggak waras. Saya nggak tahu kamu, tapi kamu jelas-jelas bukan tipe keponakan saya," kata Budhe Dewi percaya diri.

Winka diam saja. Nggak mau membantah.

"Tipe cuma tipe, kayak umur yang cuma sebatas angka." Surya ngeles. Pria itu nyengir saat melihat ekspresi Budhe Dewi yang beubah datar. Pria itu mengambil ponselnya yang bergetar dari dalam saku jas. Dia menggulirkan layar, terpaku selama beberapa detik, sebelum memasukkan kembali ponselnya ke tempat semula. "Maaf, saya harus pergi." Surya berdiri, lalu berpamitan . "Saya akan telepon kamu nanti," katanya pada Winka sebelum berlalu pergi dengan terburu-buru.

Winka dan Galih duduk bersisian, berseberangan dengan sofa yang ditenpati oleh para orang tua.

"Kamu mau?" tanya Budhe Dewi.

"Nggaklah. Aku nggak suka Surya."

"Ya, ngomong dong sama bapakmu!" Budhe Dewi kesal.

"Sudah, Budhe, tapi Papa masih tetap lanjut."

"Bram Winata memang nggak ada otaknya!" Budhe Dewi geram. "Nggak belajar dari masa lalu. Pernikahan pertamanya hancur karena alasan perjodohan. Sekarang, dia memaksakan hal yang sama ke kamu."

"Mbak, aku bakal bicara sama Mas Bram" Lita tiba-tiba berkata.

"Kamu yakin?" Trias agak sangsi."Terakhir kita ketemu dia, kamu marah-marah karena Bram mau kirim Winka sekolah ke luar negeri."

"Terus aku harus gimana? Anak kita gimana?"

Trias menghela nafas. "Biar aku yang ngomong ke Bram." Dia lalu menatap Winka. "Kamu belum ada cowok yang bisa dikenalin ke Ayah?"

"Buat apa?" balas Winka bingung.

"Supaya Bram berubah pikiran."

"Nggak ngaruh, Yah."

"Memang sudah dicoba?" Trias menatap putrinya dengan kening berkerut.

Gadis itu gelagapan. "Ya..."

"Sudah."

Winka refleks menatap Galih, begitupun tiga orang yang lain.

"Kami sudah mencoba kemarin," terang Galih. "Dan gagal," tambahnya.

"Kami?" tanya Budhe Dewi serius.

"Ya. Aku sama Winka memutuskan untuk melakukan penjajakan."

"Pak Gal ngajak aku proper date." Akhirnya gadis itu mengaku, setelah semua pasang mata mengarah padanya.

"Kalian serius?" Wajah Trias yang terlihat tenang, justru membuat Winka menjadi was-was.

"Iya, Om." Galih terdengar mantap.

"Kamu juga, Win?"

Winka mengangguk.

"Oke." Trias seakan sudah mengambil keputusan. Budhe Dewi mengangguk setuju, sedangkan Lita menatap Trias dengan terkejut, tahu ke mana pembicaraan ini akan mengarah.

"Kalau kalian benar-benar serius, kamu bisa bawa Papamu kamu ke sini, Gal."

#

Eh, gimana?wkwkwk

Eh, gimana?wkwkwk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Win-Ka-WinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang