1. Masih Harus Sepupuan

88.2K 6.4K 680
                                    

Tes ombak dulu, Beb!!!
.
.
.
.
.

Kalau Winka Winata bisa memilih, menghadiri acara keluarga akan langsung dia coret dari daftar yang harus ia lakukan selama hidup. Namun, Winka nggak bisa melakukan itu. Jelas! Dia sama sekali nggak bisa melakukannya.

Jadi, yang bisa gadis itu lakukan sekarang hanya menghela nafas. Menguatkan diri dan berdoa dalam hati supaya nanti dia bisa pulang dengan selamat.

Acara kumpul keluarga ini bagaikan ranjau. Jebakan yang akan sulit Winka hindari. Kalau nggak mengingat ayah tirinya yang luar biasa baik, mana mau Winka dengan suka rela meluangkan waktu untuk datang ke sini. Ya ampun!!! Hidup sungguh berat kalau kamu punya segudang tanggung jawab.

Masih Harus Sepupuan

Bang Sat : Winkawin, lo di mana?

Winka Winata : Gerbang depan. Mager.

Mbak Dea : Masuk lo! Buru!!!

Winka Winata : Bentar. Ngumpulin iman supaya kagak maksiat di dalam.

Bang Sat : Lagu lo! Kebanyakan gaya!

Mbak Dea : Iman tipis aja pakai dikumpulin. Lama!

Winka menggaruk kulit kepalanya yang sebenarnya sama sekali nggak gatal. Heran! Gimana bisa dia punya kumpulan sepupu model begini? Duh! Mana nama grupnya aneh banget lagi. Masih Harus Sepupuan? Kayak nggak ikhlas banget. Tapi, omong-omong grup ini isinya memang orang-orang nggak ikhlas alias setengah hati. Ya, coba saja, masa isi chatnya semua nggak jauh dari unsur-unsur perundungan dan penyebaran berita angin alias gosip. Kalau nggak ingat isi kontaknya masih punya hubungan keluarga, Winka mah ogah. Mending leave group dari kapan tahun.

Winka Winata : Pantau! Situasi dan kondisi?

Bang Sat : Ah elah! Udah sepi nih. Si Kampret kebanyakan gaya, sumpah!

Mbak Dea : Emak gue udah cabut dari setengah jam lalu. Lo buruan napa?

Winka menghela nafas. Kalau Ibunya Mbak Dea alias Budhe Dewi sudah pergi, berarti kondisi lumayan aman.

Winka Winata : Otw, Bu Boss.

Winka menyimpan ponselnya ke dalam saku celana. Gadis itu turun dari motor untuk membuka gerbang rumah Mbak Dea—tempat acara keluarga hari ini dilakukan—lalu naik kembali ke atas motor setelah pintu gerbang sedikit bergesar dan memberi ruang bagi motornya untuk masuk ke dalam.

Winka melepas helm, memperbaiki jaket denim yang dia gunakan supaya nggak kelihatan lusuh banget, sebelum akhirnya masuk ke dalam rumah Mbak Dea yang bergaya minimalis itu. Winka sempat celingak-celinguk di pintu depan. Memantau kalau-kalau ada Budhe Dewi atau budhenya yang lain. Gadis itu lumayan malas kalau harus berhadapan dengan keluarga ayah tirinya. Bukan karena penolakan. Nggak lah! Dia sama sekali nggak pernah merasa ditolak kehadirannya dalam keluarga ini.

Mereka baik banget kok. Hanya saja, pertanyaannya yang kadang suka bikin Winka kebingungan. Ya, gimana? Winka ini baru 24 tahun—dan itu masih bulan depan—tapi, pertanyaannya sejak setahun lalu—ketika ia sudah menyelesaikan kuliah—nggak jauh-jauh dari kapan kawin.

Ya Allah, bukannya Winka nggak mau kawin, tapi calonnya saja nggak ada. Jomlo banget nih. Terakhir pacaran sudah dua tahun lalu, dan sampai sekarang belum ada yang ngasih sinyal-sinyal lagi. Sampai-sampai dia lupa rasanya dipedekatein sama cowok.

"Ngapain?"

"ASTAGA!!!" Winka memegang dadanya yang berdebar kencang. Mulutnya sudah komat-kamit mengeluarkan berbagai macam kosa kata umpatan yang ada di kepalanya. Dia berbalik dan memandang gemas pria yang tadi mengagetkannya.

Win-Ka-WinWhere stories live. Discover now