13. Perasaan Manusia, Memangnya Bisa Ditebak?

36.4K 5.7K 453
                                    

Kalian kalau baca cerita ini, membayangkan Galih sebagai siapa, sih?

Btw, yang udah dapat novel Pesona Rasa, bisa tag di ig gue, ya...

.
.
.
.
.

"Win, ada yang cari."

Winka meletakkan pensil yang sedang dia gunakan untuk menandai lembaran kayu yang hendak gadis itu potong. Winka melepas kaca mata kerjanya, lantas bertanya. "Siapa?"

"Surya Wibisana." Lita menyadarkan tubuhnya di kusen pintu sambil melipat kedua lengan di depan dada. Wanita paruh baya tersebut menatap anaknya serius. "Siapa?"

"Kenalannya Papa." Gadis itu melepas celemek, lalu berjalan menuju wastafel untuk mencuci tangan.

"Wibisana itu nama belakang pengacara keluarga papamu."

Winka menghidupkan keran air, membasahi kedua tangannya, kemudian menuangkan sabun beraroma apel ke atas telapak tangan kanannya. "Anaknya yang punya firma hukum." Winka membusakan sabun tersebut.

"Kamu nggak sedang kena masalah hukum, 'kan?"

"Nggak."

"Lalu?"

Winka membersihkan sela-sela jarinya, sebelum menghidupkan keran kembali dan membilas tangannya yang penuh busa. "Mama bisa tebak."

"Nggak lagi... masa?" Lita tiba-tiba menegakkan tubuhnya saat menyadari Winka yang bergeming. "Bram nggak waras. Dia nggak belajar dari kesalahan ayahnya dulu."

Winka mengambil tisu untuk mengeringkan tangan. Gadis itu berbalik sambil melempar tatapan lelah pada ibunya. "Aku udah bilang berkali-kali sama Papa. Tapi," gadis itu mengedikkan bahu, "dia masih ngeyel." Winka mendekati sang ibu. "Aku nggak akan ikuti kemauan Papa."

"Selain ngeyel, Bram juga keras kepala." Lita khawatir.

"Aku mewarisinya," kelakar gadis itu dengan santai. "Aku nggak akan mudah ditumbangkan, Ma." Winka tertawa. Wajahnya penuh dengan humor. "Mama dan Papa gagal, jadi aku nggak mau begitu."

Kegagalan membawa luka, dan luka itu membekas. Seberapa lamanya waktu yang telah dilewati, bekas itu tidak pernah hilang. Hanya memudar. Namun, masih tetap ada.

"Mama sekarang bahagia sama Ayah Trias."

Mereka berjalan bersama keluar bengkel menuju rumah utama.

"Aku juga bahagia punya Ayah Trias." Winka menatap langit sejenak, sebelum menoleh pada Lita. "Tapi, aku juga sayang Papa."

"Ya, memang harus. Dia papamu. Terlepas dari masa lalu kami." Pandangan Lita menerawang.

"Mama masih benci Papa?"

Lita tersenyum. "Benci itu menghilang seiring berjalannya waktu. Apalagi setelah Mama jatuh cinta sama Ayah."

Banyak orang bilang, ketika kamu jatuh cinta, maka kamu harus siap dengan dua kemungkinan yang akan terus bersisisan. Bahagia dan sakit hati. Lita dulu sempat bahagia bersama Bram, kemudian sakit hati begitu parah. Ketika memutuskan berpisah, hatinya hancur. Lebur. Terlebih dengan alasan yang begitu mengecewakan.

Namuan, saat memutuskan untuk melepaskan Bram, Lita tahu bahwa dia berhak bahagia. Dia harus bahagia, dengan begitu Winka juga akan bahagia. Ketika bertemu dengan Trias, Lita tahu kalau pria itu perlahan-lahan dapat berjalan beriringan dengannya. Membuat wanita yang tidak pernah keberatan menjadi ibu tunggal itu melupakan semua luka, lalu perlahan-lahan menghapusnya.

"Cinta memang begitu," gumam Winka.

#

"Kamu ngapain?" Winka meletakkan secangkir teh untuk Surya.

Win-Ka-WinNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ