33. Adalah Takdir (Part 1)

8.5K 1.3K 94
                                    

33. Adalah Takdir (Part 1)

Marina tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau dia akan mendatangi tempat ini. Terbersit niat pun tidak. Dia berusaha menghindar dan tidak bersinggungan. Menemui gadis itu adalah hal yang seharusnya tidak dia lakukan. Menemui gadis itu hanya akan merusak harga dirinya, atau sesungguhnya menemui gadis itu membuat Marina harus mengingat kembali masa lalu.

"Kamu tunggu saja di sini!"

"Nggak. Mama nggak boleh masuk sendirian." Jani menolak.

"Kamu nggak akan banyak membantu di dalam."

Jani melepaskan kemudi. "Ma, kita nggak perlu lakuin ini. Toh, Juna juga belum tentu dipenjara. Papa nggak mungkin setega itu ke kita."

"Kamu nggak kenal papamu."

Jani menghela nafas. "Memangnya papa mau kenal aku?"

Marina enggan menjawab. "Mama harus bawa pulang Adrian dan kasih peringatan ke Winka."

"Ngapain Mama kasih peringatan ke Winka? Dia nggak ada salah sama kita."

"Dia ambil adik kamu. Dia juga berniat untuk memenjarakan kakakmu."

"Tapi, itu bukan salah Winka." Jani menghela nafas. "Kalau Mama begini terus, kita cuma bakal kehilangan segalanya."

"Kamu mulai simpati ke Winka?" tanya Marina curiga.

"Bukan, Ma. Cuma nggak masuk akal aja kalau Mama salahin Winka terus."

"Jani, gara-gara dia kakak sama adikmu berantem sampai babak belur begitu. Dia juga udah berani ancam Mama dan Juna."

"Winka nggak ancam Mama, dia cuma mempertahankan diri. Kita harus rasional, Ma, mumpung kita belum kehilangan segalanya. Mama dan Juna udah dapat banyak. Adrian juga bakal dapat bagian yang banyak dari Papa. Kita udah hidup lebih dari cukup, lalu apalagi yang Mama dan Juna cari? Emang, Mama, nggak capek hidup kayak gini terus?"

"Kamu kenapa sekarang balik mojokin Mama?"

Jani menatap Marina tidak percaya. "Aku cuma capek. Hidup keluarga kita berantakan semenjak Mama dan Juna menginginkan sesuatu yang bukan menjadi hak kita."

"Kamu nggak ngerti."

"Aku nggak akan ngerti sampai Mama kasih aku alasan yang jelas."

#

"Pak Galih, tahu nggak kalau Mbak Winka itu pelit banget?" Galih menggeleng. "Masa dia cuma kasih aku gopek buat hidup seminggu," adu Adrian dengan dramatis.

"Heh! Jatah jajan lo sebulan itu hampir setengah UMR Jakarta. Belum bisa cari duit, dimohon untuk tidak belagu."

"Padahal hidup di Jakarta mahal banget, apalagi anak kampus swasta."

"Lo udah lulus dari kapan tahun, ya!"

"Tapi, kan, gue belum wisuda."

"Udah bisa cari kerja."

"Lo pikir gampang cari kerja di Jarkarta?"

"Makanya jangan boros!"

"Jadi kakak nggak boleh toxic!"

"Kalian kalau mau berantem terus, keluar sana!" Lita memperingatkan dengan tegas. "Lagian kamu sama adiknya perhitungan banget, Win!" tegur Lita kemudian.

"Wah, Mama nggak tahu, nih, borosnya Adrian. Kalau pegang uang maunya ngelayap terus, Mama."

Galih melirik Adrian yang sedang mencoba mencari perlindungan pada Lita. Anak itu jelas menikmati peran sebagai si bungsu dalam keluarga ini. Galih masih diam dan belum mengatakan apa-apa pada Winka tentang keputusan Adrian untuk terlibat dalam perusahaan Bram. Pria itu merasa tidak berhak untuk mendahului menyampaikan berita tersebut karena sesungguhnya itu akan menjadi isu yang sangat sensitif untuk Winka.

Win-Ka-WinWhere stories live. Discover now