29. Kenapa Nggak Coba Kenalan Dulu?

9K 1.6K 128
                                    


29. Kenapa Nggak Coba Kenalan Dulu?

"Papa, nggak keliahatan kayak tahanan KPK." Gadis itu bertopang dagu sambil memperhatikan ayahnya yang sedang menyantap hasil masakannya dengan lahap.

"Tempat ini nggak buruk-buruk amat."

"Bohong." Winka menatap sinis.

Bram tersenyum simpul. Gadis kecilnya tidak akan pernah mempan dengan kebohongan putih. "Memangnya Papa bisa apa?"

"Tobat. Merefleksi diri," kata gadis itu sedikit kurang ajar—yang justru ditanggapi Bram dengan tertawa.

"Papa sudah berusaha untuk merenungi berbagai hal selama di sini." Winka menghela nafas. Gadis itu membuka botol minum dan menyerahkannya pada Bram. "Thanks."

"Kemarin aku ketemu Surya."

"Good." Bram melanjutkan makannya.

"Bukan karena aku berubah pikiran," koreksi gadis tersebut.

"Oh." Pria itu memisahkan daging ikan dari tulangnya. "Papa pikir kamu sudah mulai berdamai."

Winka memperhatikan aktivitas Bram dengan gemas kemudian memutuskan untuk mengambil alih pekerjaan pria tersebut. "Aku sudah berdamai dan menerima kenyataan kalau aku ngggak bisa lepas dari Pak Gal."

"He's not bad, tapi nggak terlalu bagus juga." Winka menaruh daging yang sudah bersih dari tulang itu ke atas piring Bram. Bram nyaris menatap putrinya tanpa berkedip. Di kehidupan sebelumnya dia pasti bercita-cita sebagai budha—alih-alih pria brengsek—sehingga bisa mendapatkan putri semanis Winka.

"Aku juga nggak keren-keren amat."

"Kamu yang paling keren," sangkal Bram cepat. "Buat Papa, kamu selalu jadi yang paling keren." Pria itu mentap putrinya dengan sayang. Bram tidak mempunya jalan keluar untuk menyisihkan Winka dari hidupnya. Setelah dia kehilangan Lita, Bram selalu menempatkan Winka pada prioritas pertama.

"Buat aku, Pak Gal satu-satunya cowok yang cocok dengan kepribadianku. Dia nggak rewel, nggak patriarki juga, cerdas dan punya gelar doktor. Gosipnya bahkan Pak Gal sedang dipromosikan supaya dapat gelar profesor. Dia nggak terjun ke dunia bisnis profesional kayak Papa, tapi Pak Gal tahu caranya untuk menggunakan uang dengan baik. Managemen keuangannya bagus banget lho, Pa. Dia punya investasi di tempat-tempat yang bagus."

"Uangnya lebih banyak mana dari kamu?"

"Kalau aku nggak ada Papa, duitku juga biasa aja buat hidup di Jakrta. Nggak melarat-melarat amat, tapi juga nggak bisa dibilang kaya." Winka kembali menaruh potongan daging untuk ayahnya.

"Papa nggak yakin."

"Dia nggak ninggalin aku dan tetap milih bertahan padahal tahu keadaan Papa yang kayak gini."

"Surya pun sama."

"Pa, aku tahu kalau Surya orang baik." Winka mendorong piring berisi daging ikan yang semuanya telah terpisah dari durinya kepada Bram. "Tapi, Pak Gal juga. Dia melakukan apa pun untuk buat aku nyaman. Selama kami pacaran, Pak Gal sopan banget. Dia nggak pernah sentuh-sentuh aku tanpa izin. Dia juga nggak pernah curi-curi kesempatan. Dia menghormati aku dan menjaga aku banget. Pak Gal juga nggak pernah protes dengan kelakuanku yang aneh-aneh. Dia selalu bisa mengendalikan diri, bahkan saat dia lihat sisi terburukku. Selelah-lelahnya Pak Gal, dia nggak pernah emosi kalau aku ngajak debat sampai nyaris nggak ada ujung pangkalnya."

Bram meletakkan sendoknya. Pria itu tampak berpikir. "Kamu hal paling berharga dalam hidup Papa. Papa nggak mungkin melepaskan kamu ke sembarang orang."

Win-Ka-WinWhere stories live. Discover now