37. Renata Dwita (1)

7.8K 1.1K 82
                                    


37. Renata Dwita (1)

Galih menutup pintu kamarnya sambil mengendurkan ikatan dasi. Pria itu menyalakan lampu kemudian duduk di kursi kerja sembari mengatur nafas untuk mengurai lelah. Seharian ini dia disibukkan dengan banyak hal. Jam mengajar penuh dari pagi hingga sore hari. Disela-sela itu, dia harus menerima beberapa mahasiswa untuk bimbingan skripsi, lalu mengurus berkas-berkas proposal untuk penelitian yang akan ia ajukan.

Pria itu nyaris berlari di seputaran kampus, dicengkeram pekerjaan hingga tidak bisa melarikan diri untuk berkencan. Bahkan seharian ini dia hanya mengirim satu pesan singkat kepada Winka ketika jam makan siang. Ketika sekarang dia berkesempatan untuk mengecek ponselnya kembali, Galih tidak menemukan satu pesan pun dari Winka Winata, kecuali chat terakhir mereka saat Winka mengirimkan emotikon tiga jempol untuk menyemangatinya.

Galih akhirnya memutuskan untuk mengetikkan sebuah pesan saat melihat status gadis itu yang masih online.

Galih Mahendra: Winka?

Tidak membutuhkan waktu lama, gadis itu membalas.

Winka Winata: Kangen?

Galih tersenyum.

Galih Mahendra: Belum ngantuk? Mau video call?

Galih menggeser ikon video begitu Winka memanggilnya.

"Hallo? Kucel-kucel kok ganteng? Padahal belum mandi," goda Winka. Galih mengedipkan sebelah matanya sebagai respon. Winka terbahak-bahak. "Genit begitu, siapa yang ngajarin?"

"Kamu." Sebenarnya itu adalah reaksi alamiah setiap Galih berhadapan dengan Winka.

"Wah, artinya aku bawa pengaruh buruk buat kamu. Jangan kentara-kentara, deh! Nanti habis dijewer Budhe Dewi."

"Mana ada kamu takut sama Mama?"

"Ya, takutlah. Calon mertua ini!" Winka setengah serius ketika mengatakannya—yang hanya membuat Galih semakin tidak percaya. "Gimana kampus?"

"Sibuk." Galih bercerita. "Proposalku harus segera diajukan, tapi itu bukan masalah besar. Yang paling menyita perhatianku hari ini, dua mahasiswa bimbinganku terancam DO." Winka mendengarkan dengan hikmat. "Masalahnya mereka bukan mahasiswa biasa. Otak mereka benar-benar encer dan mereka juga aktif dalam pergerakan aktivis. Persoalannya, mereka hampir nggak ada kabar setahun belakangan. Aku nggak yakin mereka masih aktif di kampus karena beberapa orang organisasi yang aku tanyai juga lost contact sama mereka."

"Kamu nggak curiga mereka melipir jadi stand up comedian?"

"Kalau iya, harusnya mereka udah masuk tv."

"Kalau belum laku?"

Galih berpikir sejenak. "Stand up comedy itu hidup dalam komunitas. Mereka nggak akan bisa berkembang kalau nggak bergabung dengan komunitasnya. Kampus punya komunitas stand up yang lumayan besar, tapi nama mereka pun nggak pernah disebut di sana."

"Kamu sudah coba tracking ke keluarganya?"

"Sudah." Galih menghela nafas. "Nihil. Mereka kayak ditelan bumi." Winka tahu kalau Galih benar-benar khawatir. "Sebelum menghilang mereka sempat vokal mengkritik salah satu kebijakan pemerintah yang melibatkan partai besar. Kalau nggak salah, Adrian juga terlibat di sana. Cuma, Adrian nggak sedalam dua orang ini, dan beckingan Adrian juga nggak main-main."

"Mafia aja kalah sadis dari Papa."

"Pihak kampus curiga mereka sedang melarikan diri atau bagian paling buruk, mereka hilang."

"Kok serem banget? Kayak zaman Orba."

"Di negara berkembang, politik masih belum stabil. Lagipula, bisnis di negeri ini dikendalikan oleh satu persen yang menguasai pemerintahan. Dan politik dijadikan ajang untuk memuluskan ekspansi bisnis mereka yang kita tahu juga cuma menguntungkan si satu persen ini."

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 12 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Win-Ka-WinWhere stories live. Discover now