8.2. Mau Aku Kasih Tahu Satu Rahasia?

33.6K 5.8K 936
                                    

Cerita Ola, Hala yg tadi gue up di storial, gue unpub dulu soalnya sistem mereka eror. Maaf ya, Beb. Besok kalau udah oke gue publish lagi.

Btw, maciw yg udah berpartisipasi di game uwe. Bukan apa2. W stuck, terus kayak mikir nih cerita bakal lanjut nggak sih.

Soal karakter, hehehehe, gue emang muridnya Budhe Dewi, kalau ada yg ribet, ngapain dibikin mudah? Wkwkwkwkwk... Biasanya emang gue jelasin di narai atau antar dialog tokohnya. Asli, gue belajar lagi bikin cerita dg POV org ketiga setelah kebiasaan nulis dg POV org pertama. Menggali lagi. Seringnya eror, tapi seru juga mengerjakan sesuatu diluar zona nyaman.

Udah, gitu aja.

Btw lagi, PO pesona rasa udah mau buka. Siap2 ya. Kira2 tgl 10 Juni.

Maciw semua atas atensi dan apresiasinya.

Luvvv ❤️❤️❤️❤️

Enjoy

.
.
.
.
.

"Lo mau gue kasih tahu satu rahasia, nggak?" kata Adrian tiba-tiba. Winka dan Galih langsung menatap Adrian yang duduk di tengah-tengah mereka. Adrian menatap Winka lamat-lamat. "Jani suka sama Surya."

"Hah?"

Adrian mengangguk, membenarkan keterkejutan kakaknya.

Pikiran gadis itu langsung terarah pada sang ayah. "Papa tahu?"

"Kayaknya," kata Adrian antara yakin dan nggak yakin. Namun, Adrian kemudian meralat. "Harusnya tahu." Dia menambahkan. "Jani sering banget kok keluar sama Surya. Dia juga beberapa kali nyamperin Surya di kantornya."

"Terus ngapain Papa malah jodohin gue sama si Surya? Kenapa nggak sama Jani aja?"

"Mbak." Adrian menghela nafas. Setengah gemas dengan sikap Winka yang nggak peka. "Emangnya lo pernah lihat Papa nganggep Jani sama Juna sebagai anaknya?"

Winka melayangkan pandangan serius. "Gue pikir setelah Papa masukin Juna ke perusahaan, hubungan mereka menjadi lebih baik."

"Juna cuma dimanfaatin Papa, karena gue nggak mau ikut campur di sana."

Winka mengigit bibir bawahnya. Gadis itu sama sekali nggak habis pikir dengan sikap Bram Winata. "Kalau Papa nggak bisa nerima kakak-kakak lo, dia nggak seharusnya nikahin Emak lo."

"Mereka berdua manusia egois, Mbak. Gue nggak yakin Papa beneran cinta sama Mama." Winka terdiam, kemudian Adrian melanjutkan. "Papa cuma tersesat dan mengira perasaannya selama ini ke Mama itu cinta. Saat akhirnya dia kehilangan nyokap lo, Papa baru sadar kalau ternyata dia udah menyia-nyiakan waktunya buat Mama. Sayangnya," Wajah Adrian terlihat sedih. "Mama sebucin itu ke Papa. Dia bahkan nggak peduli, meskipun harus menyakiti nyokap lo, menyakiti mantan suaminya, dan menyakiti lo.

Nyokap gue berlindung atas nama cinta. Padahal, bukan cintanya yang salah, cuma mereka saja yang nggak bisa meredam hawa nafsu. Dan saat Mama sadar kalau ternyata Papa menyesali semuanya, dia udah nggak bisa berbuat apa-apa lagi." Adrian menghela nafas. "Gue dari dulu ingin ngomong ini ke lo, tapi momennya ngga pernah pas."

Winka menggenggam jemari Adrian. "Gue udah nggak peduli, Dri. Bagi gue, semua itu cuma masa lalu. Sekarang, gue sama nyokap udah bahagia. Kami punya ayah Trias dan Mas Agam, sebagai kakak gue. Mereka berdua udah lebih dari cukup untuk menghapus semua masa lalu itu."

"Lo," Adrian membalas genggaman tangan kakaknya, "pernah nggak sekali aja benci sama gue?"

Winka tersenyum. "Nggak cuma sekali, tapi berkali-kali. Semua itu perasaan manusiawi, 'kan?" Dia memandangi wajah adiknya. Wajah itu duplikat Bram Winata. Setiap bentuk, tarikan garis, dan proporsinya adalah milik Bram Winata. "Butuh waktu lama buat gue sampai pada tahap menerima. Sekarang, gue benar-benar nggak mau mengingat-ingat masa lalu." Winka memperhatikan jemari mereka yang saling menggenggam. "Lo juga harus gitu." Dia mendongak, menatap mata Adrian dengan sungguh-sungguh.

Win-Ka-WinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang