#38 - Sebuah Kisah Klasik

238 49 5
                                    

Matahari bersinar terik, masih menggunakan seragam sekolah yang dirangkap dengan jaket denim, Jayden duduk seorang diri di depan toko yang telah tutup. Jejeran pertokoan sepi dari lalu lalang hanya satu dua toko yang masih menjajakan jualan, sisanya memilih tutup. Jayden menunduk lesu dengan wajah yang jelas terlihat suram. Matanya terlihat berair, entah sudah menangis atau belum. Ini hanya kisah klasik dari remaja labil yang didera prahara yang membuatnya belajar akan kehidupan. Mungkin bukan hanya Jayden seorang yang merasa hidupnya paling menyedihkan. Masih banyak anak di luar sana yang juga merasakan hal yang sama dengan Jayden, tetapi entah kenapa Jayden merasa jika hanya dirinya seoranglah yang paling menderita di muka bumi ini. Merasa hidup tidak pernah adil, padahal tidak seperti itu. Jayden hanya lupa menengok ke arah lain alih-alih hanya menundukkan kepala dengan lenguhan lesu dan pandangan suram. Jayden lupa bersyukur. Ia hanya remaja labil yang belum bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk bertahan hidup.

"Oi bocah ingusan!"

Dua orang preman bertubuh kekar dan wajah garang dengan salah satunya sibuk mengepulkan asap rokok berdiri di depan Jayden.

"Kenapa?" tanya Jayden pun dengan nada sebal dan seolah menantang.

"Bagi duit lo sini."

"Masa orang dewasa minta duit ke anak yang masih sekolah sih, nggak malu?" sahut Jayden terlewat berani.

"Wah berani juga ya nyali lo."

"Ngapain takut," balasnya enteng.

Dua preman itu terlihat kesal karena merasa direndahkan oleh anak kecil. Jadi salah satu preman yang sedari tadi merokok membanting rokoknya lalu menginjak rokok itu sambil berdecih sebal.

"Eh sini lo."

Kerah baju seragam Jayden ditarik paksa lalu ditinjunya perut Jayden keras sampai anak itu batuk-batuk.

"Haha jadi cuma segitu? Omongan lo aja yang gede," ejek salah satu preman.

Bugh!

Jayden yang kala itu emosinya sedang tidak stabil tentu saja tersulut emosinya. Jadi dengan sekuat tenaga ia balas memukul salah satu preman yang telah dengan tega memukul perutnya.

"Brengsek!"

Perkelahian pun tak bisa dihindari. Dua lawan satu, tentu saja Jayden kalah telak.

"Oi!"

Bruak!

Sebuah balok kayu mengenai punggung salah satu preman dengan cukup keras. Preman tersebut menggeram kesal.

"Kalau berani satu lawan satu dong. Nggak adil banget!" Chandra datang bak pahlawan kesiangan.

Jayden menahan perih pada wajah dan nyeri pada beberapa bagian tubuhnya yang terasa berdenyut setelah dipukuli. Bodoh memang karena ia berani menantang dua orang preman.

"Ya muncul satu lagi anak songong sok berani. Kalian berdua satu geng ya? Anak sekolah zaman sekarang songong-songong amat." Preman tersebut menatap Chandra dengan wajah meremehkan, "Sini deh lo maju kalau nyali lo ada!"

Bugh! Bugh!

Setelahnya kembali terjadi perkelahian. Merasa tidak mungkin mengalahkan dua orang preman bertubuh besar. Chandra tentu saja mencari celah untuk bisa kabur secepatnya.

"Jay, lari ayo!"

Chandra menarik tas yang digendong Jayden, meminta anak itu berlari bersamanya.

"Woi jangan lari lo!"

Matahari masih berdiri tegak di langit. Jalanan mulai penuh sesak oleh mesin beroda. Dua orang preman tersebut terlihat kehilangan jejak Chandra dan Jayden yang entah lari kemana.

Panah Rasa (BangRosé) | ENDМесто, где живут истории. Откройте их для себя