#34 - Panah Rasa

310 65 34
                                    

Srung!

Anak panah berhasil menancap tepat di titik tengah. Chandra terlihat sangat puas. Senyumnya lebar. Hingga tepukan di bahu mengagetkannya.

"Padahal lo abis rehat panahan seminggu tapi sekali tembak langsung tengah. Paling top deh lo Chan," puji Bang Joni.

"Masih sedikit kaku padahal tadi Bang."

"Tapi bagus banget buat percobaan pertama," balas Bang Joni lagi.

Chandra mengambil satu anak panah lagi lalu melakukan sikap siap. Sikap awalannya terlihat bagus. Lalu ia pun mulai menarik string dan membawanya hingga menyentuh hidung. Mata elangnya menatap papan target.

Srung!

Ujung panah menancap di poin ke sembilan. Lebih dari cukup untuk memulai kembali setelah hampir satu minggu rehat.

"Omong-omong, lo waktu itu kalah dari gue. Jadi mau kapan jalanin tantangannya?" Bang Joni masih setia berdiri di sebelah Chandra.

"Nantilah Bang," balas Chandra.

"Iya nanti tapi kapan? Bentar lagi libur semester. Kalau lo nggak nyatain sekarang, lo bakal susah cari alasan buat ketemu. Mau kayak gitu?" Selain Ibam dan Malik ada juga Bang Joni yang gencar mengurus kisah percintaan Chandra.

"Manah papan target aja hebat tapi nyatain perasaan ke cewek cemen. Nggak asik lo."

"Iya Bang iya. Gue lagi cari timing yang tepat. Tapi ini atas dasar gue emang tulus suka bukan karena tantangan dari lo ya." Chandra mengklarifikasi.

Bang Joni merangkul bahu Chandra, "Nah gitu dong."

***

"Jayden."

Jayden yang baru saja melewati gerbang sekolah menatap ke arah ayah yang sudah menunggu di dekat mobil. Bukannya mendekat, Jayden memilih kembali melanjutkan langkah. Wajahnya begitu datar. Sekolahnya sudah begitu sepi hanya ada dua-tiga siswa yang belum pulang dari kegiatan ekstrakulikuler. Jayden memang sengaja pulang paling akhir.

"Jay." Ayah meraih lengan Jayden.

"Kemasin barang-barang kamu dan ayo kita tinggal sama-sama. Kita mulai hidup yang baru." Ayah menatap sang anak berharap Jayden mau membalas tatapannya, sayang Jayden tetap acuh.

"Jayden." Ayah kembali memanggil nama Jayden karena sama sekali tak mendapat respon.

"Memangnya kita bisa memulai hidup baru?" Jayden menatap sang ayah, "Andai aja Ayah lebih peduli sama Mama. Mama pasti masih bertahan di sisi kita. Kalau Ayah aja gagal membuat Mama bertahan. Apa Ayah bisa bikin Jayden bertahan juga?"

"Jay!" Ayah melepas cengkraman pada lengan sang anak, "Bukannya kamu sendiri yang bilang buat mulai hidup baru tanpa Mama kamu? Kamu sendiri 'kan yang minta? Tapi kenapa sikap kamu jadi kayak gini? Apa ada yang buat kamu ngerasa terganggu?"

Anak lelaki itu masih acuh. Ayah menghela pasrah, "Okeh. Ayah nggak akan maksa kamu. Kamu pasti masih butuh waktu, tapi kalau kamu mulai bisa nerima semua ini. Datang ke Ayah. Ayah akan selalu nerima kamu."

Jayden menghindar ketika Ayah mulai mengelus pelan pucuk kepala.

"Ayah pergi dulu."

Masih membuang pandangan. Jayden tetap acuh. Ayah kembali menghela pasrah lantas masuk ke dalam mobil. Mungkin nanti. Entah kapan Jayden pasti bisa menerima keadaan. Mobil kemudian melaju pergi meninggalkan Jayden. Tak lama setelah mobil Ayah melaju pergi, Jayden merasa sedang diperhatikan jadi ia berbalik. Benar saja. Jayden terlonjak kaget saat sadar ada orang lain yang berdiri tak jauh darinya. Berdiri bersandar pada tembok dengan sebelah tangan yang dimasukkan ke dalam saku. Tas slempang besarnya tampak menonjol. Jayden tahu jika tas besar itu berisi alat memanah karena Jayden tidak sengaja melihat anak itu berlatih.

Panah Rasa (BangRosé) | ENDWhere stories live. Discover now