#13 - Feel Something

390 82 6
                                    

"Tangan lo kenapa deh?" tanya Ibam setengah ngeri melihat dua jari Chandra dibebat perban.

"Lupa pake finger tab," jawab Chandra santai lantas mendengus tatkala tak bisa mengikuti teman-temannya bermain basket di jam olah raga. Ia hanya duduk dipinggiran masih dengan seragam putih abu-abu yang menempel.

"Songong sih. Safety is number one, you know?"

Chandra berdecak. Ia bisa saja menggunakan tangan kiri untuk bermain bola bersama yang lain tapi layaknya anak kesayangan. Guru olah raga melarang dan justru memberi tugas tertulis padanya. Hei bukannya itu justru lebih parah? Chandra bahkan tidak yakin bisa menulis dengan baik karena tangannya di perban. Anak kesayangan dari mananya?

"Gebetan lo juga ada jam olah raga hari ini. Seneng nggak lo dengernya?" Malik ikut bergabung di tepi lapangan setelah selesai melakukan pemanasan kemudian melayangkan protes pada Ibam karena anak laki-laki itu bertindak curang dengan izin pergi ke toilet di putaran kedua.

"Inget ya. Kali ini gue ngalah sama lo. Tapi kalau lo nyakitin hati bidadarinya Aa' Ibam. Nggak peduli lo sahabat gue. Habis lo di tangan gue," tutur Ibam.

"Aelah. Kayak yang berani aja," balas Malik sambil melempar kerikil ke arah Ibam.

Chandra tak memperdulikan mereka berdua. Fokusnya justru beralih kepada rombongan kelas lain yang menggunakan sisi lain lapangan sekolah untuk melakukan pemanasan. Baru menyadari jika Rosé juga duduk di pinggir lapangan dan tak memakai baju olah raga sama sepertinya.

"Eh mau ke mana?" tanya Ibam yang melihat Chandra sudah berdiri tegap.

"Ya buat nemuin 'bidadarinya' lah," sahut Malik sengaja menekan kata 'bidadarinya' hanya untuk membuat Ibam kesal.

Meninggalkan kedua temannya. Chandra menghampiri Rosé pun entah untuk tujuan apa. Kali ini ia tak banyak memakai logika. Hati seolah menguasai seorang Chandra. Membiarkan Chandra melakukan sesuatu di luar kebiasaan.

"Hai."

Dan kehadirannya jelas mengundang atensi. Pun bukan sesuatu yang biasa seorang Chandra menemui seorang gadis. Terlebih itu Rosé. Pertanyaan seperti kapan mereka saling kenal mengudara bagai cicitan burung. Sifat terlalu ingin tahu yang dimiliki kebanyakan orang sungguh mengganggu. Tidak bisakah menghargai privasi orang lain.

"Teman-teman! Disuruh kumpul woi!" seru Lisa pun hanya untuk mendistraksi teman sekelasnya. Bersikap layaknya pahlawan bagi Chandra dan Rosé.

"Boleh duduk?" izin Chandra.

Rosé mengangguk.

"Kenapa nggak olah raga?" tanya Chandra kemudian.

"Hari pertama datang bulan," jawab Rosé. Kini gadis itu tak lagi menghindari pun tidak juga menatap dengan tatapan intimidasi. Sifat Rosé sedikit melunak entah karena apa. Yang jelas hanya mengetahui itu Chandra sudah sangat senang.

"Emang sakit banget ya?"

Pertanyaan Chandra rupa-rupanya mendapat atensi yang luar biasa buktinya Rosé sampai melirik.

"Itu datang bulan," jelas Chandra sambil meringis takut salah bertanya.

Rosé mengangguk, "Sakit banget. Perutnya kayak lagi diremas-remas."

Kemudian saling diam. Entah kehabisan bahan obrolan atau memang tak tahu ingin mengobrol tentang apa. Chandra tak biasanya seperti ini. Rosé seolah memiliki sekat tak kasat mata sehingga membuat orang lain tidak bisa masuk lebih jauh ke dalam teritori gadis itu. Entahlah. Yang jelas Rosé seperti bunga mawar. Sulit sekali menembus sekat itu.

"That must be painful. Itu sampai dua begitu. Pasti sakit banget," ucap Rosé tanpa diduga pun sambil menunjuk jari Chandra yang dibebat perban. Tolong ingatkan Chandra untuk tidak melakukam selebrasi. Rosé memang gadis yang tidak bisa ditebak.

"It's alright. Jari gue nggak patah kok cuma lecet. Resiko atlet panahan yang terlalu semangat narik string," jelas Chandra.

"Kamu harus lebih hati-hati lagi. Safety itu yang utama. Atlet harus bisa menjaga tubuhnya dengan baik."

Chandra rasa ia telah mengalami sesuatu yang dinamakan 'suka' yang biasa hadir di kamus seorang remaja. Sesuatu yang jelas benar-benar baru bagi Chandra walau jujur saja ia pernah mengalami cinta pertama pada seseorang hanya cinta monyet sih. Dulu sekali ketika masih SMP itu pun tak berakhir dengan sesuatu yang berarti karena setelahnya Chandra tidak melakukan apa-apa. Hanya menyimpan rasa itu seorang diri. Lalu apa ia harus mengejar sesuatu itu? Merasakan layaknya remaja biasa. Haruskah Chandra menjalankan kehidupan seorang remaja pada umumnya?

***

"Bulan depan ibu nikah," tutur Farhan pun dengan mata yang tak lepas dari layar tv. Menonton kartun.

"Abang bakalan dateng, kan?" ucap Farhan lagi itu juga karena belum mendapat respon.

"Emang ada alesan Abang buat nggak dateng? Ibu pasti ingin anak-anaknya dateng dan ngelihat pernikahannya. Seolah mengatakan 'ibu udah bahagia sekarang jadi jangan ganggu ibu lagi'," jelas Chandra sambil mengunyah sereal.

"Ayah pasti nggak akan dateng," tebak Farhan.

"Walaupun ada kesempatan buat dateng. Ayah pasti milih buat nggak dateng. Perihal rumah tangga itu rumit, Han. Ribet lah, nggak ngerti juga abang."

Farhan menatap sang kakak.

"Ibu pasti seneng dapet suami yang lebih kaya dari Ayah, iya 'kan Bang?"

Chandra menyendok sereal dengan susah payah karena jarinya yang di perban lantas menyuapi satu sendok penuh ke dalam mulut. Ingin rasanya menolak kenyataan jika keluarganya tak lagi utuh. Kenyataan itu hanya membuatnya terluka. Ia tahu jika cinta seseorang bisa saja hilang pun bagi pasangan yang telah menikah. Tak paham kenapa orang-orang mudah sekali memutuskan sesuatu tanpa memikirkan dampaknya. Chandra jatuh bangun ketika tahu kondisi keluarganya tak sehangat dulu. Pun berusaha menjadi kakak yang baik bagi sang adik di tengah prahara rumah tangga kedua orang tuanya. Saat itu Chandra bahkan hampir menyerah dengan karir atletnya kalau saja ia tak mengingat Farhan.

"Apa hebatnya suami kaya? Ayah jauh lebih hebat. Ayah bahkan rela mati untuk negara. Sepertinya cuma Ibu yang nggak ngerasa bangga."

"Tapi Bang Chandra beneran dateng, kan?"

Chandra tak menjawab.

Apa bisa Chandra nggak usah dateng aja, Bu? Chandra juga sama kecewanya kayak Ayah. Belum bisa nerima kenyataan kalau ibu milih pisah sama ayah hanya karena harta.

 Belum bisa nerima kenyataan kalau ibu milih pisah sama ayah hanya karena harta

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Apa nggak capek ganteng terus bang? :"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Apa nggak capek ganteng terus bang? :"

Panah Rasa (BangRosé) | ENDWhere stories live. Discover now