#6 - Pertandingan

510 121 4
                                    

Peminat olahraga panahan memang tak seramai sepak bola atau bulu tangkis yang biasanya memenuhi setiap bangku acap kali ada pertandingan. Namun, bukan berarti akan sepi penonton. Menjauhkan ekspektasi Rosé mengenai pertandingan yang akan sepi nyatanya tidak demikian. Walau tak sampai melampui kapasitas namun antusiasme penonton bisa diberikan pujian. Berbekal satu kantung keripik kentang rasa BBQ dan sebotol jus jeruk dalam pangkuan. Rosé menempati salah satu bleacher. Ia hanya akan menunggu tim sekolahnya bertanding lalu mengambil gambar. Suhu udara yang panas sepertinya tak menyurutkan euforia penonton. Buktinya bising sekali sampai-sampai membuat Rosé yang mencintai ketenangan harus sesekali menggumam kata sabar agar tak kabur dan melupakan pekerjaan pentingnya. Demi tuntutan dan profesionalisme. Rosé tak boleh mengeluh.

"Lihat Danu udah ambil posisi!"

Rosé melirik Ayudia malas. Gadis itu bersikeras tak ingin membantu Rosé untuk mewawancarai Chandra tapi anak itu semangat sekali ketika Rosé mengatakan jika ada Danu yang juga turun bertanding hari ini. Andai saja Rosé tidak memiliki sikap belas kasih sudah tentu Ayudia habis di tangannya.

"Kamu nggak ambil gambar anak basket?"

Ayudia menggeleng, "Basket baru dimulai besok, beb."

"Kalau gitu kenapa nggak kamu aja sekalian yang ngewawancarai panahan? Toh kamu ada di sini."

Ayudia kembali menggelengkan kepala kini diikuti goyangan tangan. Berlagak bos besar. Ayudia membalas pun dengan senyum jumawa yang terlihat berlebihan.

"Itu tugas lo. Bagian gue bukan ini."

Jika Rosé adalah Lisa sudah pasti ia sudah kehilangan kesabaran sejak awal memasuki lapangan panahan. Nyatanya Rosé adalah Rosé.

"Ah jangan lupa. Ambil gambar Danu sama Julia juga terus bikin artikel yang bagus. Dalia pasti protes kalau lo cuma fokus ke Chandra," ucap gadis itu lagi masih berlagak seperti seorang atasan yang sedang memerintahkan bawahannya.

Rosé kembali tabah. Selain bisingnya suara penonton. Sikap Ayudia juga bisa memicu sifat tidak sabaran Rosé. Kalau saja ia memiliki teman mengobrol yang lebih seru dibanding Ayudia yang sedang dimabuk asmara dengan Danu. Rosé pasti tak akan sefrustrasi ini hanya untuk memikirkan bagaimana ia bisa melakukan tanya-jawab pada seseorang tanpa perlu takut canggung. Padahal Rosé hanya perlu mengajukan beberapa pertanyaan dan mencatat jawaban di book notes tapi rasa-rasanya hal itu sudah seperti ujian nasional antara hidup dan mati. Yang benar saja. Rosé tidak terbiasa akan itu. Sungguh.

"Kamu yakin aku yang ngeinterview?"

Gadis yang sibuk mengagumi sosok Danu yang gagah dan mengkhayal jika sekarang pemuda itu sedang berpenampilan ala pejuang perang zaman kerajaan kuno hanya menjawab pertanyaan Rosé dengan anggukan kepala. Pun sepertinya tak begitu menangkap konteks pertanyaan.

"Aku rasa kamu lebih berpengalaman buat ini daripada nanti aku bikin masalah. Iya 'kan?" Rosé masih berusaha walau tau bentuk pertanyaan yang ia ajukan hanya sebatas angin lalu bagi Ayudia yang sedang berada di gelembung imajinernya sendiri.

"Wah kebetulan. Bidadarinya Aa' Ibam. Hai. Lagi ngapain di sini?"

Hampir saja Rosé menjatuhkan kamera kesayangannya jika ia tidak bisa menguasai diri. Entah sejak kapan Rosé duduk bersebelahan dengan pemuda sok akrab padahal ia yakin jika lima menit yang lalu kursi itu masih diduduki oleh orang lain.

"Maaf. Salah orang," balas Rosé takut-takut. Ia jelas merasa asing dengan pemuda itu tapi sepertinya tidak sebaliknya.

"Maneh teh teu kenal abdi? Abdi eta teh calonnya maneh. Teu nyaho?"

Dahi Rosé mengkerut. Merasa jika orang disebelahnya sudah gila terlebih ketika berbicara dengan raut sedih serta bahasa yang memang dipahami oleh Rosé tapi tak bisa dibalasnya.

Panah Rasa (BangRosé) | ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang