#17 - The Bagaskara's

366 81 2
                                    

Hari minggu Chandra cukup produktif, pagi-pagi sekali anak itu sudah berkemas segala keperluannya seorang diri kemudian berjalan menuju dapur untuk membuat sarapan. Tak disangka di sana sudah ada ayah masih dengan seragam dinasnya tengah sibuk mengoles selai pada selembar roti. Membuat sarapan praktis ketika tak memiliki banyak waktu untuk memasak walau jelas sebagian besar Chandra yang memasak karena ayah sangat payah.

"Ayah kapan pulang?"

Bukannya lekas menjawab, ayah justru menaruh selembar roti yang selesai dioles ke piring dan menyodorkannya kepada Chandra.

"Mau sampai kapan kamu ngehindarin pertemuan akhir pekan kamu sama ibu kamu?" Ayah bertanya dengan raut serius membuat Chandra menarik kursi kemudian mendudukinya.

"Kan kamu sendiri yang waktu itu setuju, weekday kamu sama ayah dan weekend sama ibu. Ibu kamu nyalahin ayah karena akhir-akhir ini kamu nggak sama ibu kamu," ucap ayah lagi, "Dengar, Bang. Walaupun ayah sama ibu udah pisah tapi kamu tetep anaknya. Bisa nggak ngeluangin akhir pekan kamu buat ibu kamu? Dia juga pasti kangen kamu," lanjutnya.

"Chandra cuma nggak suka sama suasana rumahnya, rumah ibu gede banget. Ditambah kakek selalu nyuruh Chandra kuliah bisnis kalau udah lulus. Chandra nggak suka," balas Chandra sambil mengunyah rotinya.

"Terus apa bedanya sama rumah ini? Ayah juga suka minta kamu masuk akmil, kan?"

Keluarga ayah Chandra sudah dua generasi mencatat nama keluarga Bagaskara sebagai bagian dari keluarga tentara nasional. Pun bukan tidak mungkin jika hal itu menurun pada generasi ketiga yaitu Chandra. Chandra juga sering didesak ayah untuk masuk akmil walau Chandra juga lebih sering mengacuhkan. Berpura-pura fokus pada panahan padahal hanya alibi agar pembahasan masuk akmil tidak lagi ayah dengungkan.

"Ayah nggak bahas itu deh. Ayah tahu kamu juga pasti ngehindarin pertanyaan 'mau masuk akmil apa nggak?'. Padahal kamu harapan satu-satunya kakek dan ayah."

Chandra tetap mengunyah. Sebenarnya Chandra tak bisa membohongi dirinya sendiri jika ia kecewa pada keluarganya sendiri. Walau begitu Chandra juga tidak bisa membenci mereka. Chandra hanya remaja labil yang belum tahu akan ke mana kakinya melangkah. Ia hanya remaja yang lebih mementingkan emosi ketimbang logika.

"Tapi Bang, tolong Ayah. Ayah nggak mau jadi mantan suami yang egois karena nggak mau anaknya ketemu sama ibunya."

"Yah, apa Ayah masih mencintai Ibu?" tanya Chandra tiba-tiba.

"Kamu mau tahu satu rahasia nggak?" tanya ayah yang berhasil membuat Chandra mengangguk penasaran, "Sebenarnya hubungan ayah sama ibu kamu mulai nggak baik itu sejak kamu umur duabelas tahun. Tapi kalau kamu nanya gitu. Jelas pasti sulit kalau ayah bilang ayah udah nggak cinta ibu kamu. Ayah juga sudah sebisa mungkin mempertahankan ibu kamu. Tapi mau bagaimana lagi? Ibu kamu punya pilihannya sendiri."

Satu fakta yang membuat kekecewaan Chandra kian bertambah. Fakta jika ibu dan ayahnya mulai tidak saling mencintai sejak usianya dua belas.

"Dan ayah milih nyerah?"

"Bang, permasalahan rumah tangga itu nggak segampang permasalahan cinta anak remaja. Perceraian juga nggak semudah putus cinta ala remaja. Nanti kalau kamu udah besar kamu juga bakal tahu." Ayah menaruh segelas susu putih di dekat Chandra, "Sekarang habisin sarapan kamu. Om Rendra udah njemput Farhan katanya mau nontonin kamu tanding. Pasti bentar lagi sampe."

Chandra menaruh kembali gelas susunya yang baru diminum beberapa tegukan.

"Kok nggak bilang Abang dulu sih?" protes Chandra.

"Lho kenapa? Biasanya kamu oke-oke aja," jawab ayah.

"Ya bukan gitu, Abang 'kan mau ngajak temen juga," balas Chandra.

Panah Rasa (BangRosé) | ENDМесто, где живут истории. Откройте их для себя