"Sudah bangun rupanya."

"Aihhh, sial."

Aku kalah cepat dari Pak Gian. Ia keburu melihatku menarik selimut hingga menutupi kepala.

"Hei, bangun."

Aku masih diam. Aku tidak berani membuka selimut dan menatapnya. Apa jadinya mukaku saat melihatnya yang dengan sengaja mencium keningku tadi.

"Bangun atau saya cium," ancamnya yang langsung membuatku membuka selimut cepat-cepat. Ia tersenyum manis lantas pipiku berubah panas.

"Good morning," sapanya halus.

Tuh kan. Bapak tanggung jawab dong kalau aku baper.

"Pagi Pak," jawabku sopan.

"Minum dulu," pintanya dan aku duduk persis menghadapnya. Kuteguk secangkir air putih itu hingga kandas. Lega rasanya.

"Makasih Pak."

Aku merasa kikuk. Kenapa Pak Gian masih disini, dan masih menatapku dengan senyum yang masih terpatri sejak tadi di bibirnya? Apa karena kelakuanku saat tidur menyusahkannya?

"Muka saya aneh ya, Pak?" tanyaku.

"Nggak, kamu cantik. Kalau masih ngantuk, tidur lagi aja. Nanti saya bangunin untuk sarapan," katanya sambil mengelus rambutku. Kemudian ia melangkah keluar dari kamar dan setelahnya pintu pun tertutup.

Aku hanya bisa gigit jari melihat sikap Pak Gian. Aku meninju-ninju guling, bantal, selimut apapun yang ada di atas kasur untuk meredam rasa senang campur malu di hatiku.

"Nara, tenang, oke, calm down."

"Pak Gian itu dosen kamuu. Please, jangan baper lagi Ra."

*****

"Tadi pagi Om Haris nelepon saya, nanyain kamu."

Aku berhenti sejenak menyantap buburku. Aku menghembuskan napas pelan. Aku belum berani menjumpai mereka. Tapi aku bisa apa, mau tidak mau memang secepatnya aku harus bertemu mereka.

"Maaf Pak, apa boleh saya minta tolong?"

"Katakan saja."

"Boleh nggak Pak kalau hari ini saya disini dulu?"

"Kenapa?"

"Saya belum berani pulang," cicitku tanpa melihat Pak Gian.

"Keluargamu mencarimu."

"Saya tahu. Hanya saja saya masih yah.....i don't know why it happens to me."

Air mataku mengalir begitu saja. Seumur hidup, itu pertama kali aku mengalami kejadian naas seperti itu. Menakutkan sekaligus menjijikkan. Aku sesenggukan sambil menutup wajahku dengan kedua tanganku.

"It's so hurts," lirihku pelan.

Sedetik kemudian, aku merasakan dekapan hangat menyelimuti tubuhku hingga ke relung hatiku. Aku mendongak, melihat dengan jelas betapa dekatnya wajah Pak Gian di hadapanku.

"I am here, with you," bisiknya lalu membawaku ke dalam pelukannya.

Untuk kedua kalinya, aku menangis dalam pelukannya.

"It's okay," bisiknya menenangkanku.

"Udah ya nangisnya, ayo makan dulu. Kamu harus isi tenaga." Sejurus kemudian, tangisku berhenti. Ya iyalah berhenti, Pak Gian dengan gampangnya mencium keningku lagi. Kurang ajar, nggak cukup apa yang tadi pagi.

"Nggak usah buru-buru juga makannya, makananmu nggak bakal saya ambil," katanya dengan tenang. Aku memang sengaja makan cepat, agar bisa terhindar dari radius Pak Gian. Aku menggeram kesal saat Pak Gian malah senyum-senyum saja.

Dosen Bucin (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang