20. Ternyata Tidak

10.9K 553 23
                                    

Angkasa berjalan masuk kedalam rumahnya setelah mengantarkan Senja pulang. Angkasa memang kini sudah kembali ke rumahnya. Padahal rasanya juga tidak ingin tinggal disini. Lebih baik tinggal sendiri di apartemen.

"Angkasa!" baru satu langkah Angkasa melangkah. Tapi kaki nya kembali berhenti lalu membalikan badan. Menatap lelaki bertubuh besar, dan tegap. "Papa mau bicara sama kamu," ujar lelaki itu.

Lalu Angkasa pun mengikuti langkah Papahnya. Menuju diruang keluarga. Di sana juga sudah ada dua orang lelaki. Dia adalah Andreas-Kakak Angkasa. Dan Aril-Adik kandungnya.

"Duduk!" pintah Amar-Papah Angkasa.

Angkasa duduk di samping Andreas. Hubungan ia dan kedua saudaranya memang tidak begitu baik. Selain karena ia jarang di rumah, Angkasa juga yang selalu diperlakukan beda dari yang lain. Membuat cowok itu kadang malas berhubungan dengan orang-orang di rumah ini.

Dari mulai ayahnya yang tak suka pilihan hidupnya, menjadi anggota geng motor bahkan sekarang ia menjadi ketuanya.

"Papa mau ngomong penting sama kalian bertiga," ujar Amar. "Papa ini kan sudah tua. Umur Papa makin bertambah, mungkin Papa gak akan bisa lagi ngurus perusahaan Papa yang ada dimana-mana. Dan ini perusahaan besar,"

"Andreas juga yang selama ini bantu Papa gak mungkin bisa urus perusahaan ini sendirian. Sekarang yang masih dibantu Papa aja kewalahan." Amar menatap satu persatu wajah Angkasa, dan Aril. "Papa cuma berharap sama kalian berdua Angkasa, Aril. Papah mau kalian nanti lulus sekolah bisa langsung ikut bantu kakak kalian Andreas untuk ngurus perusahaan. Apalagi kamu Angkasa. Kamu sekolah juga sebentar lagi keluar kan?"

"Angkasa, Papa minta saat ini kamu berhenti sama geng motor kamu itu. Stop! Jangan lagi ikut kumpul. Ikut balap-balapan. Berantem, dan melakukan hal kriminal lainnya. Kamu itu sekarang harusnya sibuk belajar buat dapet nilai yang bagus pas lulus nanti. Kamu jangan malah sibuk main-main sama gengmotor kamu itu," ujar Amar.

Ucapan Amar memang benar, namun ia tidak bisa memilih berhenti dari The Blaze karena mereka bagian dari hidupnya juga.

Angkasa menghela nafasnya kasar. "Kalo itu Angkasa ngerti. Memang harus belajar. Tapi tolong gak usah bawa-bawa gengmotor," ucap cowok yang masih memakai seragam sekolah nya itu.

"Kalo kamu masih gabung sama mereka, gimana kamu mau belajar? Gimana kamu mau dapetin nilai bagus?" balas Amar.

Angkasa berdecih. "Anda pikir kerjaan kita cuma buat masalah? Saya juga ada waktu untuk belajar."

"Tapi Papa itu gak suka kalo kamu ikut sama gengmotor kamu! Kamu Angkasa Gerald Anugrah. Anak seorang pengusaha terkenal di dalam bahkan diluar negeri. Adalah seorang gangster? Apa yang harus papa banggakan dari kamu? Kamu liat Kakak kamu. Adik kamu. Mereka berdua selalu belajar. Gak pernah nyoba yang macem-macem," ucap Amar lagi.

Kini emosi Angkasa mulai memuncak jika dia sudah dibanding-bandingkan dengan kedua saudara kandungnya. "Mereka berdua Andreas dan Aril. Bukan Angkasa. Saya dan mereka berdua beda!"

"Iya memang Papa tau itu. Tapi perbedaan kamu dengan kedua saudara kamu itu sangat menonjol. Kamu itu sudah seperti anak yang tidak pernah di didik oleh orang tuanya," ujar Amar.

Angkasa berdiri dengan mukanya yang terlihat merah, otot lehernya tampak. Menandakan bahwa cowok itu benar-benar sedang emosi. "Bukannya ucapan itu benar? Saya kan memang tidak pernah di didik oleh orang tua saya sendiri?" jawab Angkasa.

Cowok itu tertawa remeh. "Seharusnya anda intropeksi sebelum bicara. Tolong ingat siapa yang bisa membuat saya menjadi seperti ini. Bukannya itu dari Anda sendiri?" Angkasa ingin melangkah pergi dari ruangan membosankan itu.

Angkasa [END] ✓Where stories live. Discover now