Atap (BounPrem)

556 41 4
                                    

Atap © Imorz





Prem batal pergi ke luar, namun Boun memberikannya pilihan yang lebih baik.




Andai saja malam ini hujan tidak serta-merta mengguyur Thailand beserta kebarbarannya, Prem mungkin sudah menari-mabuk-menari-mabuk di kelab langganan bersama pasangannya Boun yang dari tadi belum saja ke luar dari kamar mandi. Masih pukul delapan dan Prem menatap ke luar dari jendela rumah yang tidak terlalu besar, menyibak gorden kemudian menggerutu memandang pemandangannya. Lampu-lampu yang setiap malamnya berkelap-kelip seperti gemintang (warnanya merah, kuning, hijau omong-omong) kini tampak kabur sebab air menabrak kaca jendela dan membuat jajaran garis meliuk turun.

Suara pintu kamar mandi yang terbuka dan kecipak air, ah, Boun sudah ke luar dengan celana selutut dan handuk bergantung di ubun-ubun. Ia menatap punggung Prem, seakan tahu apa yang membuat lelaki itu berdiri memandang ke luar dengan alis bertaut jengkel, Boun tersenyum dan berpakaian dan menuju dapur.

Prem sedikit melirik pada apa yang dilakukan Boun. Tapi kemudian ia mendengus tidak peduli.

"Aku ingin bermain biliar."

"Memukul bola warna-warni dengan tusuk panjang," Boun menyahut dari arah belakang, "Padahal di sini ada aku yang bisa memukul bola-bolamu."

Prem memutar mata, candaan mesum Boun belum ampuh mengatasi kejenuhan. Padahal biasanya ia akan tertawa dan balik menyahut dengan lelucon tak kalah mesum. Pantas kawan-kawannya menyebut mereka pasangan mesum tapi alotnya sampai usia kepala tiga.

"Aku sedang tidak berselera." Prem melipat tangannya.

"Berselera apa?"

"Saling lempar lelucon mesum."

"Itu ... terdengar menyeramkan."

"Hei!"

Terdengar gelak tawa Boun, dan suara itu kian mendekat hingga berani menyentuh daun telinga Prem. Perutnya direngkuh dari belakang, napas Boun meluncur dari sela leher. Bulu roma meremang dibuatnya.

"Apa kau lapar?" bisiknya. Prem merinding singkat.

"Tidak."

"Sayang sekali, aku lapar. Apa kita masih punya stok Mie instan?"

"Hia, sungguh. Aku sangat ingin pergi ke luar, bersenang-senang, berdansa, minum"

"Apa kehadiranku saja tidak cukup membuatmu senang?" Boun membalik tubuh Prem, membuat manik saling bersitatap. "Lusa nanti aku ada audit satu minggu ke luar kota, artinya seminggu penuh kita tidak akan bertemu, Prem. Aku tidak akan di sini bersamamu, seatap, dan sekarang kau bersikeras ingin pergi ke luar"

"Maksudku bukan hanya aku yang pergi, tapi kita berdua."

"Kita masih punya hari esok, sayangku."

Prem berhenti membalas. "Aku mengerti. Tapi pastikan besok harus sempurna, pokoknya besok harus meriah sebelum kau pergi audit seminggu!"

"Dikabulkan."

Suara riuh hujan semakin beringas, Prem menutup tirai jendela dan balas memeluk Boun. "Hangat," ujarnya.

"Apa kau ingin makan Mie instan? Akan kubuatkan."

Prem mengangguk. Pelukannya tiada melonggar.

"Prem, aku tidak bisa ke mana-mana kalau begini caranya."

"Aku tidak ingin melepasnya."

Boun tersenyum. "Baiklah. Kita tidak jadi makan Mie instan kalau begitu."

"Aku memang tidak lapar."

"Aku yang lapar, Prem."

"Makan saja aku kalau begitu."

Tubuh Prem diangkat dan digendong. Posisinya sudah seperti panda yang tengah bergelantungan. Langkah Boun berjalan menuju kamar.

"Baiklah. Selamat makan, terima kasih atas hidangannya," ucap Boun diikuti pintu kamar yang ditutup dengan sebelah kaki.

Meskipun rencananya untuk bersenang-senang di luar akhirnya harus batal, Prem tahu jika memadu kasih dengan Boun, di bawah atap yang sama, pada malam hari yang dingin, lebih membuatnya bahagia dan Prem tidak menyesali hal itu. Boun tahu bagaimana cara membuat Prem jatuh cinta lagi, lagi, dan lagi kepadanya tanpa harus berbuat banyak. Lelaki itu pandai meluluhkan hati lawannya. Entah magis apa yang ia kenakan. Rasanya Prem terlalu dimabuk pesonanya.

Malam itu berakhir seperti biasa. Perlakuan Boun membuat pinggangnya sakit dan mereka baru dapat pergi ke luar pukul sebelas siang. Prem setengah mengutuk. Lelaki itu bilang ia lapar tapi masih punya tenaga menggenjot hingga tengah malam tiba. Di matanya, Prem memang sepertinya terlihat layaknya hidangan makan malam yang mewah.

Boun pikir, setidaknya, ia telah memberikan kesan yang bagus sebelum pergi meninggalkan kekasihnya seminggu penuh. Ah, ia sudah tidak sabar ingin menyelesaikan pekerjaannya, lalu pulang ke pelukan Prem, lalu kembali memadu kasih.

Di bawah atap yang selalu menjadi saksi bisu dari kisah yang mereka untai.

.

.

.

Selesai.

Drables Thai CoupleTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon