And Can Loses His Own Bet (TinCan)

795 24 1
                                    

And Can Loses His Own Bet © njuuuu
.

.

Bibir merengut lucu, pupil mungil menghujamkan tatapan tajam pada manik di hadapannya, menggumam sendiri dalam hati, bertanya sejak kapan ia seberani ini mencari mati. Pipi merah merekah menggugah selera gigi untuk menancap dalam di sana digembungkan, mengundang kuluman senyum geli yang masih sanggup disembunyikan. Alisnya mengerut ke bawah, ekspresi jarang pada air muka inosen permanen sempurnanya, bersamaan dengan deru napas berat yang memburu keluar.

Tin tak tahu harus merespon apa. Pemuda di depannya kelewat menggemaskan, seakan meminta jamahan. Ia hampir melancarkan niatan, tapi Can sudah memelototinya duluan. Tin membiarkan lengan kiri menggantung bebas di samping badan, sementara tas kerja digenggam erat oleh yang kanan.

Biarlah orang mengira ia kejam atau semacamnya. Biarlah orang tak tahu menahu setakluk apa dirinya di depan kekasihnya. Tak perlu ada yang tahu. Tak perlu ada gosip menyebar. Tidak, pokoknya tidak! Martabatnya bisa musnah, hancur tak berisisa rusak dihina tatapan meremehkan, habis ditertawakan, dan menghilang.

Apa kata orang jika tahu Tin entitas terkejam sejagat yang bahkan angin segan merusak sisiran rapih rambut hitamnya atau sinar mentari yang tak berani melegamkan kulit mulus putih susuny, ternyata menciut di depan pemuda ordinari tanpa idiosinkrasi tersendiri.

Mengecil, seperti semut. Sedangkan di matanya, Can sebesar dinosaurus―atau paus (agar analoginya masuk akal, Tin memilih yang belum punah).

Bukan dalam artian literal, ingat.

Tin melepaskan desahan napas lelah yang panjang, biasanya Can akan langsung luluh dan sifat cemas berlebihannya muncul, tapi tidak hari ini. Can sudah bulat tekadnya, ditancapkan determinasi pada wajah, dan Tin mengaku kalah. Tangannya berusaha meraih pipi merah di kulit Putihnya, ditepis jangar oleh pemilik raut marah.

Jahanam.

Harusnya Tin murka.

"Aku masih kesal, Tin! Jangan coba-coba!"

Tapi, Tin takut (jangan bilang ia mengakui). Lagipula, Tin janji tidak lagi mencoba. Sumpah.

Terakhir kali ia nekad mengabaikan ancaman Can, Tin ditalak pisah ranjang, menyebabkan mimpi buruk tiga malam.

"Pokoknya aku kesal, tidak mau melihat Tin!" Can menghujam lantai tak bersalah dengan telapak kakinya sebelum berbelok masuk ke dalam rumah, meninggalkan Tin di depan pintu dengan perasan gundah, resah, dan gelisah. Tak lama, suara gebrakan pintu dan putaran kunci terdengar menggema di dalam ruangan, seakan menertawakan kemalangan pemiliknya yang masih membatu akan keterkejutan.

.

.

.

Can melangkah gontai ke arah pintu, agak meringis saat dingin menusuk saraf tertentu. Matanya diusap pelan oleh punggung tangan berbalut kain lembut, merebut kesadaran yang berusaha ditarik kantuk.

Dibuka kunci perlahan, takut menimbulkan suara mengganggu. Dilirik seisi ruangan, mencari kekasih yang lama menunggu. Can menemukannya beberapa saat kemudian, Tin tertidur pulas di atas sofa berwarna putih gading. Belakang kepalamya dibenamkan pada bantalan sofa, tubuhnya diselimuti jas Louis Vuitton burgundy, dan sepatu pantofel Kings masih melekat di kaki.

Can mendesah, menatap Tin dengan raut khawatir kentara, perasaan bersalah merayap menusuk epidermis. Ia tahu Tin pasti lelah, capek setelah bekerja seharian, baru pulang jam sepuluh malam. Tapi, Can masih kesal. Tin sudah bersumpah akan menemaninya makan malam hari ini, setelah seminggu penuh kemarin asyik lembur sendirian, eh, yang berjanji malah mengingkari, beralasan meeting mendadak sudah menanti. Can curiga, jangan-jangan Tin tidak akan berakhir melamarnya, malah akan menikahi perusahaan sialan warisan keluarga.

Mendekat, Can berusaha melepaskan pantofel hitam mengkilap kekasihnya. Tersenyum puas saat usahanya berhasil.

"Tin." Dicubit gemas hidung lancip pemuda yang terlelap. Tak digubris, jemarinya menusuk pelan pipi sang kekasih berulang kali. "Tin." Tin masih belum sadar, Can menunggu dengan sabar. "Tin." Kepalanya bersandar pada dada bidang, tubuhnya didudukkan di atas karpet beludru merah bata. "Tin." Ada sedikit gerakan, tapi Tin belum membuka mata. "Tin." Pipinya terasa hangat diradiasi panas tubuh Tin. "Tin. Tin. Tin." Tangannya mengelus pipi dengan letak tulang sempurna. "Tiinnn." Can tak tahan. Ia mengguncang tubuh Tin pelan, menyeringai penuh kemenangan saat korban membuka mata.

"Tinn..Tinnn..Tinn...Tinnn.."

"Aku mendengarmu dari tadi, Can"

Tin menatap manik Can yang membelalak sepersekian detik. Menarik tubuh yang lebih ringan dan kecil darinya itu ke atas pangkuan setelah melempar jas kerja mahal ke sembarang arah, Tin membenamkan kepala sang kekasih diceruk lehernya, membuat Can tersedak napas sendiri terkejut.

"Masih marah, Can?"

Yang ditanya tak menjawab. Can mengubur kepalanya lebih dalam, melesak memaksa aroma maskulin yang menempel permanen di tubuh pewaris sah perusahaan besar se-Thailand itu masuk ke indra penciumannya, mencengkram erat kemeja abu-abu pekat bergantung dasi senada jas. Malu. Mana mungkin Can bilang kalau ia rindu Tin di samping ranjang? Padahal baru satu jam yang lalu masih bersitegang. Apalagi yang merajuk menyimpulkan semuanya secara sepihak.

Menggeleng perlahan, Tin menahan tawa gemas. Dipeluknya Can lebih kencang, mengecup surai sewarna tanah beraroma manis. Can dari ujung rambut sampai ujung kaki terasa seperti madu. Dan ada di beberapa bagian tertentu legitnya lebih candu.

"Aku minta maaf."

Hening sedepa jeda. Can mengangkat kepalanya, Tin melonggarkan dekapannya. Manik mereka beradu pandang, sebelum gelak tawa kecil memecah sunyi malam.

"Aku juga."

Can tak kuasa menahan tawa, Tin membebaskan decakan kagum. Takjub, keduanya berucap beriringan tanpa maksud dan keinginan. Dua kali.

Tak lama, Can kembali pada posisi semulanya, lengan Tin juga merengkuh semakin erat. Meski di atas tempat sempit yang tak nyaman, berdesak-desakan mendominasi lahan, berakhir dengan Tin tetap menindih sang kekasih menawan, keduanya tak berusaha saling melepaskan. Malam akan berakhir dalam beberapa jam, namun Tin tak peduli meski siang meraja.

Oh iya, Tin lupa bilang, mulai besok sampai tiga hari selanjutnya waktunya bebas. Kalau Can tahu, akan seperti apa reaksinya?

Tin tak mau menebak, biarlah hari esok menjawab.

End.

Drables Thai CoupleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang