✉ 27 || Arthur Elias

1.7K 317 44
                                    

Aku turut mengantarkan Rangga hingga ke rumah sakit. Sementara aku berbicara dengan dokter, Raja yang juga ada di sampingku justru kelihatan stres berat.

"Tin, lo baik-baik aja?" tanyaku pada sosok Raja. Oh ya, namanya Valentino. Dia minta dipanggil Tino dan bukannya Valen.

Tino hanya diam saja. Ia lalu bersandar pada tembok. Wajahnya terlihat sangat tertekan.

Jujur saja, aku pernah ada di posisi dia. Menghadapi orang-orang yang terluka entah karena ulah siapa. Ini memang berat dan butuh waktu untuk merasa terbiasa.

"Udah, lo nggak usah dipikir berat-berat. Gue bakal bantu lo ngungkap pelaku kejadian ini." Aku menepuk bahunya.

Dia tampak mendongak. Menatap kosong ke langit-langit. "Gue takut, Kak."

Aku mengangguk. Wajar saja perasaan seperti itu muncul. Justru kalau dia merasa baik-baik saja di situasi seperti ini, aku akan berpikir bahwa kejiwaannya sedikit terganggu.

Aku lalu memilih diam. Mungkin dia butuh waktu untuk mengontrol emosinya dan menenangkan dirinya.

o0o

Riga datang bersama Vienna dan Ratu. Tak berselang lama, dokter yang menangani Rangga akhirnya menyampaikan kabar baik dari kondisi terkininya.

Karena Rangga belum boleh dijenguk, kami memutuskan untuk mampir ke resto yang buka dua puluh empat jam. Resto itu tak jauh dari rumah sakit.

Di sana, kami mulai berbicara dengan baik-baik. Raja dan Ratu sudah bisa menerima keinginan kami untuk ikut serta memecahkan kasus ini.

Raja dan Ratu secara bergantian menjelaskan tentang bagaimana awal mula penemuan korban pertama. Mereka bahkan berani bersumpah kalau kejadian itu bukanlah ulah mereka.

Sampai pada akhirnya, Vienna buka suara. Dia bertanya perihal mengapa Raja dan Ratu berusaha menghilangkan jejak. Sejujurnya, aku juga sangat penasaran dengan ini.

"Lalu kenapa kalian berusaha menghilangkan jejak kecelakaan yang menimpa kandidat?" tanya Vienna lugu. Raja dan Ratu jadi kompak melotot padanya. Tapi sepertinya Vienna tidak terusik dipelototi begitu. Atau lebih tepatnya, dia pura-pura berani dan tak gentar.

"Kami hanya tidak mau masalah ini jadi rumit," kilah Ratu yang kutahu namanya adalah Raya.

"Apa pihak sekolah tahu?" tanyaku kemudian.

Tino mengangguk, "Kami sudah membuat laporan. Untuk sementara mereka meminta kami menyelesaikan masalah ini secara internal. Artinya pengurus Raja dan Ratu lah yang harus bertindak. Makanya kemarin kami minta Raja dan Ratu dari angkatan atas untuk membantu kami mengawasi para kandidat. Tapi ternyata masih kecolongan."

"Siapa yang menguji Rangga tadi?" Riga gantian bertanya.

"Kak Anggia dan Kak Deny." Raya menjawab.

"Kalian udah nanya ke mereka soal Rangga?" sambarku.

Ratu mengangguk. "Tadi sebelum kami mencari Rangga, kami terlebih dahulu bertanya pada Kak Anggia dan Kak Deny. Mereka bilang kalau Rangga berhasil menyelesaikan misinya dalam waktu lima belas menit. Dia sudah keluar dari gedung lab. Makanya Kak Anggia dan Kak Deny kembali ke markas."

"Markas?" Riga tampak penasaran.

"Istilah yang kami gunakan untuk menyebut ruang kerja kami." Tino menjawab.

"Oh, yang ada di bagian belakang sekolah?" cecar Riga.

Ratu memicing tak suka pada Riga. "Dari mana lo tau?"

"Waktu itu gue sama Vienna penasaran sama empat orang yang datang menggunakan mobil warna putih tapi berpakaian serba hitam. Ternyata mereka pergi ke bagian belakang sekolah dan menghilang di sana." Riga mengakui perbuatan menguntitnya.

Jujur saja aku ingin tertawa mendengar ceritanya. Bukankah tadi dia menyebutkan kata "menghilang" untuk menggambarkan perginya empat orang itu?

Sebenarnya mereka tidak menghilang. Tapi mereka mengakses pintu rahasia untuk masuk ke markas. Dan pintu rahasia itu membuka serta menutup dengan cepat. Tampilannya pun sama sekali tidak menunjukkan itu sebuah pintu masuk. Aku tau, penjelasanku sulit untuk dibayangkan. Ya memang teknologi yang digunakan untuk mendesain markas itu tidaklah main-main.

"Kembali ke topik," selaku sebelum pembicaraan melebar. "Jadi bagaimana akhirnya kalian tau kalau Rangga masih ada di laboratorium?"

"Kami hanya menebak-nebak," ujar Tino.

"Kesimpulan sementara," ucapku tegas membuat semua mata tertuju padaku. "Rangga yang baru keluar dari gedung lab setelah menyelesaikan misi bertemu dengan pelaku. Ada selisih waktu empat puluh lima menit sebelum Rangga seharusnya kembali ke lapangan. Dan ada jeda sekitar satu jam dari mulai dia dilukai dan pada akhirnya bisa kita temukan. Kalau menurut gue, yang melukai Rangga adalah orang yang tau betul posisinya. Dan, kalau gue nggak salah duga, kandidat dilukai secara bergiliran sesuai warna baju Raja dan Ratu. Benar begitu kan?"

Semua orang yang ada di hadapanku terdiam. Mereka paham tidak ya dengan yang aku bicarakan?

"Jadi maksud lo, pelaku nyamain warna baju yang kita pakai untuk menargetkan kandidat mana yang akan gugur?" Tino seperti tidak habis pikir soal itu.

"Mungkin, coba kalian ingat-ingat lagi. Karena dari laporan Riga, hari pertama korbannya bernama Anna. Dia menggunakan topeng warna abu-abu. Saat itu kalian menggunakan baju warna apa?" tanyaku pada Raja dan Ratu.

"Benar, hari itu kami memakai baju berwarna abu-abu. Sebenarnya itu tidak murni abu-abu karena abu-abunya sangat muda dan hampir jatuh ke warna putih. Tapi mungkin memang baju itu terlihat seperti berwarna abu-abu." Raya membenarkan ucapanku setelah berpikir cukup lama.

Aku mengangguk. "Lalu hari berikutnya korbannya adalah Doni. Bukankah dia menggunakan topeng berwarna hitam?"

"Kami juga pakai baju warna hitam hari itu." Tino menyahut.

Aku lanjut bicara, "Korban ketiga adalah Fany dengan topeng berwarna kuning. Tapi ada dua kandidat yang menggunakan topeng berwarna sama, bukan begitu?"

"Ya, Fany dan Meysa." Riga membenarkan ucapanku.

"Jadi gue nggak tau kenapa yang dipilih adalah Fany dan bukannya Meysa. Tapi asumsi sementara kenapa yang dipilih itu Fany karena saat itu dia sudah selesai menjalankan misi yang diberikan. Dia maju pertama bersama Riga, kan?"

"Ya," gumam Riga lagi.

Aku mengangguk-anggukkan kepala. Sepertinya asumsi sementara yang kubuat cukup beralasan. Aku kembali membuka suara. "Dan korban ke empat, Rangga. Dia menggunakan topeng berwarna putih. Dan hari ini, kalian Raja dan Ratu menggunakan baju berwarna putih juga. Apa ini hanya kebetulan belaka?"

"Sepertinya tidak mungkin kalau ini hanya kebetulan belaka." Vienna menimpali.

Aku menatap Tino dan Raya secara bergantian. "Siapa yang meminta kalian untuk menggunakan baju dengan warna tertentu seperti ini?"

"Ada di SOP," jawab Tino. Tapi dia juga tampak ragu.

"Kenapa lo keliatan ragu gitu?" cecarku karena masih kurang yakin dengan jawabannya.

Tino menatapku dengan kening berkerut rapat. Matanya memicing seolah tengah berusaha mengingat sesuatu yang sempat terlupakan. "Karena sebenarnya SOP kami ini sempat hilang saat kami meminta tanda tangan ke kepala sekolah dan baru ditemukan kembali satu hari setelah seleksi dimulai."

"Tuh kan, nggak beres emang." Riga menggebrak meja dengan gemas.

Aku kembali memutar otak. Berusaha mengaitkan fakta-fakta yang baru saja kudengar. Lalu aku kembali menatap Raja dan Ratu. "Siapa yang tau soal SOP itu?"

"Tentunya semua pengurus Raja dan Ratu. Terlebih pengurus yang ikut serta secara langsung dalam seleksi kali ini," jelas Raya.

Sudah kuduga, ada yang tidak beres dengan para Raja dan Ratu itu.

o0o

Guys, wajib vote dan komen!

Love you all ❤

PEMILIHAN RAJA & RATU SEKOLAH (BAGIAN 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang