✉ 7 || Vienna Esterina Elara

1.8K 304 29
                                    

Aku berjalan keluar dari rumah dengan mengendap-endap. Syukurlah orang tuaku sedang sibuk di gudang. Tidak ada yang tahu kalau aku pergi keluar rumah.

Aku menyusuri jalanan yang sepi seorang diri. Jujur saja, aku merasa sedikit takut. Aku tidak takut pada hantu dan sebagainya, tapi zaman sekarang kan banyak banget kasus kriminalitas. Bagaimana pun, aku bukan cewek super yang punya kekuatan untuk melawan orang jahat.

Aku menengadah menatap lampu jalan yang redup. Sepertinya dalam waktu dekat lampu jalan itu akan padam, sama seperti beberapa lampu jalan yang ada di jalan ini. Ya, kompleks perumahanku ini memang miris banget kondisinya. Tapi mau gimana lagi, memang tidak ada budget untuk memperbaiki kondisi perumahan ini kan?

Sekarang, aku sudah sampai di jalan raya. Tapi tetap saja kondisinya sepi. Ya setidaknya, aku sudah tidak berada di kompleks perumahanku yang seram itu.

Aku berjalan dengan tempo agak cepat. Aku bisa merasakan ada sorot lampu mobil yang menyorot ke arahku. Aku deg-degan banget. Gimana kalau ada orang jahat yang berniat menculikku?

Mobil itu melambat ketika posisinya sejajar denganku. Si pengemudi tampak menurunkan kaca mobilnya. Mau tak mau, aku harus menengok untuk mengecek kan?

Jadilah kami saling tatap. Ada dua orang laki-laki di dalam mobil itu. Aku mengernyit. Rasa-rasanya, aku pernah melihat orang yang duduk di bangku penumpang.

"Vienna?" sapa cowok itu tampak ragu. Cowok itu lalu berbicara dengan si pengemudi.

Aku menatap cowok itu dengan bingung. Dia kenal aku? Seharusnya aku juga kenal dia kan?

Aku mencoba memejamkan mata. Mengingat-ingat siapakah cowok yang ada di kursi penumpang itu.

Pintu pengemudi tampak terbuka. Si pengemudi keluar dan menghampiriku. "Silakan masuk, Non. Non temennya Den Riga kan?"

Riga? Riga siapa?

Belum sempat aku mengingat-ingat, pengemudi mobil itu sudah membukakan pintu belakang mobil. Si pengemudi memintaku masuk ke mobil.

Jujur saja aku ragu. Bagaimana kalau ini jebakan? Tapi kelihatannya orang-orang ini tidak berbahaya. Kuharap mereka tidak memiliki maksud buruk padaku.

Begitu aku duduk di kursi penumpang, cowok itu kembali menyapaku. "Vien, lo nggak lupa sama gue kan? Kok muka lo bingung banget gitu."

Aku terdiam. Ya, aku lupa Riga ini siapa. Aku tidak mengenalinya. Sialan, aku harus jawab apa ini?

Aku terkekeh, berusaha untuk tampak santai dan bersahabat. Tadi, bukankah si pengendara menanyakan apakah aku temannya Riga, kan? Aku mencoba bersikap sok ingat pada teman yang satu ini, "Aku inget kok, Rig."

Dia tampak mengangguk. Mobil sudah mulai melaju kembali. Cowok itu juga membalikkan badan dan menghadap ke jalanan di depan.

Kami sampai di sekolah tak lama kemudian. Aku menghela napas lega. Setidaknya cowok itu tidak bertanya hal lain lagi dan membuatku kelabakan karena tak bisa menjawab.

Cowok itu turun terlebih dahulu dari mobil. Sedangkan si pengemudi—yang ternyata adalah sopirnya Riga—membukakan pintu untukku.

Aku mengucapkan terima kasih pada sopir itu dan segera berjalan menuju gerbang sekolah. Di depanku, terhampar pemandangan gedung yang gelap dan hanya diterangi lampu di sudut-sudut bagiannya. Sepi. Tak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Apakah aku sedang dikerjai?

Seseorang menepuk bahuku. Rupanya cowok itu. Ia berjalan mendahuluiku.

"Topeng lo mana?" tanyanya sambil berbalik menatapku.

Aku tersadar bahwa sedari tadi aku belum memakai topeng. "Oh, iya," ucapku sambil mengeluarkan topeng berwarna merah muda yang tampak manis.

"Jadi, ini baju terbaik lo?" tanyanya lagi. Kali ini aku mengernyit. Apa ada yang salah dengan bajuku?

Aku mengenakan dress selutut berwarna broken white bermodel vintage. Ini adalah dress kesukaanku. Kurasa ini memang baju terbaikku. "Ada yang salah?" tanyaku akhirnya.

"Lo kelihatan nyeremin banget malem-malem gini pakai baju warna putih. Rambut lo digerai dan berkibar-kibar kalau kena angin. Kulit lo juga kelihatan pucat." Dia menilai penampilanku.

Aku menghela napas. Tuh kan, sudah kubilang bahwa aku tidak menarik. Bahkan cowok bernama Riga ini bisa menilaiku sedemikian rupa. Ia bilang bahwa kulitku pucat. Baju yang kukenakan terlihat menyeramkan. Belum lagi rambutku pasti berantakan karena terkena angin.

Melihatku terdiam, Riga sepertinya sadar bahwa dia sudah terlalu banyak bicara. "Eh, gue nggak bermaksud apa-apa, lho. Kayanya gue udah keterlaluan ya ngomongnya? Kalau gitu, maafin gue ya?!"

Aku mengangguk dan tidak menanggapinya lagi. Mataku menangkap bayangan seseorang berdiri di balik tembok aula. Siapa ya dia?

"Riga, kamu lihat orang itu nggak?" tanyaku sambil menunjuk orang yang kumaksud.

Riga mengangguk. "Kayanya itu salah satu kandidat juga. Oh ya, nanti kita jangan memperkenalkan diri ya ke kandidat lainnya."

Aku mengernyit bingung. "Lho, kenapa?"

"Ikuti aja kata-kata gue," ucap Riga misterius.

Oke deh. Aku memilih setuju saja. Mungkin Riga memang lebih tahu soal hal-hal semacam ini. Mungkin juga dia pernah ikut serta dalam acara Raja dan Ratu Sekolah saat SMP.

o0o

Ternyata orang di balik tembok aula itu adalah cowok bertubuh atletis. Cowok itu pastinya juga salah satu kandidat.

Tapi Riga membawaku langsung ke ruang makan. Entah mengapa, kurasa dia tahu banyak soal acara ini. Cowok itu seperti berusaha keras menjauhkan diri dari kandidat lainnya. Apa sih sebenarnya yang tengah terjadi?

"Vien, mungkin ini sedikit berlebihan, tapi gue yakin banget kalau lo nggak bisa bertahan dalam pemilihan ini, maka lo kalah." Riga membawaku ke sisi ruang makan.

"Maksud kamu apa, Rig?" tanyaku makin bingung.

Riga menahan bahuku. "Vien, lo tau film The Hunger Games?"

Aku menggeleng. Dia menghela napas.

"Itu film dimana tokoh-tokohnya saling bunuh membunuh untuk bisa bertahan hidup." Riga tampak berusaha menjelaskan dengan sabar.

Aku lagi-lagi mengernyit. "Iya, terus?"

"Pemilihan Raja dan Ratu Sekolah nggak jauh beda sama film itu."

Aku terkejut. "Maksudnya, kita harus membunuh kandidat lain untuk bertahan hidup?"

"Bukan kita yang akan melukai kandidat lain. Tapi anggota lama Raja dan Ratu Sekolah. Saat kandidat gagal melaksanakan tugas, tau-tau aja mereka udah nggak bernyawa." Riga berkata serius. Suaranya terdengar cemas.

Kalau begini, aku pengen pulang saja. Aku tidak suka dengan tantangan. Aku bukan cewek yang bisa diandalkan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang terlalu berat. Bagaimana kalau aku lah kandidat yang akan tersingkir malam ini?

Tuhan, aku masih mau hidup. Oke, aku bukan orang religius. Aku hanya akan berdoa saat situasi mendesak seperti ini. Tapi aku berdoa pada Tuhan untuk melindungiku. Semoga saja Tuhan mengabulkan permintaanku.

"Tenang aja. Kita bisa bekerjasama." Riga menyelipkan sesuatu di telapak tanganku. Dingin. Terbuat dari Besi. Salah satu sisinya terasa taham dan bisa menggores telapap tanganku. Pisau kah?

Sekarang aku tambah keringat dingin. Bahkan suaraku terdengar bergetar, "Kerjasama gimana?"

"Kerjasama untuk menyelesaikan misi yang diberikan anggota lama Raja dan Ratu Sekolah. Lo mau kan?"

Mau gimana lagi. Aku juga tidak punya gambaran soal misi yang akan kuterima nanti. Akhirnya aku mengangguk saja.

Riga tersenyum. "Oke, Partner!"

o0o

Makasih udah mampir. Oh ya, hari ini aku update dua part sekaligus, jadi cek ke bawah ya.

Love you all ❤

PEMILIHAN RAJA & RATU SEKOLAH (BAGIAN 1)Where stories live. Discover now