✉ 6 || Riga Nara Neonatha

2.1K 330 31
                                    

Tadinya, aku mau minta dijemput sopir, tapi kuurungkan niatku saat mataku tak sengaja menangkap sesosok cewek sedang berjalan beberapa meter di depanku. Rupanya itu Vienna. Cewek yang anehnya terlihat tidak ingat padaku. Padahal seharian ini kami sering bersinggungan. Sebegitu tidak pedulinya dia padaku atau karena hal lain? Yang jelas aku jadi penasaran.

Berhubung dia juga berjalan kaki ke arah yang sama dengan arahku pulang, aku memutuskan untuk mengikutinya. Biasanya aku tidak seperti ini kok. Jadi jangan mengatakan kalau aku penguntit, oke? Biasanya, aku justru tidak pedulian dengan orang lain. Kadang sikapku diartikan sebagai cuek, judes, dan sok cool oleh teman-temanku.

Namun kali ini, aku sangat tertarik dengan cewek satu itu. Dia terlalu datar dan biasa saja. Tapi dia bisa terpilih jadi salah satu kandidat Raja dan Ratu Sekolah. Ya, bagiku dia cukup misterius.

Dia berbelok ke arah kompleks perumahan mati—begitulah aku menyebut kompleks perumahan yang ditinggali Vienna. Tentu saja aku punya alasan untuk menyebut kompleks tempat tinggal Vienna dengan sebutan menyeramkan itu. Yang kutahu, kompleks perumahan itu sudah tidak dihuni. Bahkan kabarnya, kompleks perumahan itu sudah menjadi sarang hantu sekarang ini.

Aku berhenti melangkah di depan gerbang masuk kompleks. Aku mengamati Vienna yang melenggang dengan santai. Tampak tidak terusik dengan kesunyian sekitarnya. Apa jangan-jangan dia adalah hantu?

Ah, aku cukup merasa tidak yakin dengan pemikiranku ini. Pasti karena aku keseringan nonton film horor.

Mana mungkin hantu bisa tampak sama seperti manusia. Setidaknya, Vienna terlalu normal untuk menjadi makhluk astral. Dia tampil seperti cewek pada umumnya. Terlebih, cewek itu tampak jinak dan tidak menyeramkan. Oh ya, dia kan juga takut sama hantu. Jadi tidak mungkin kan hantu takut hantu? Haha, pikiranku konyol sekali.

Oke, aku sudah melantur terlalu jauh. Sebaiknya aku segera pulang ke rumah dan bersiap kembali ke sekolah nanti malam.

Rumahku ada di balik kompleks mati ini. Bisa dibilang, kompleks perumahan tempatku tinggal saat ini adalah kompleks perumahan termasyhur di kota ini. Ya, kondisi kompleks perumahanku dan kompleks perumahan tempat Vienna tinggal bagaikan langit dan bumi.

Rumah-rumah mewah berjajar di sepanjang jalanan kompleks perumahanku. Belum lagi fasilitas umum yang lengkap yang sengaja disediakan untuk para penghuni di kompleks ini. Keamanan kompleks ini dijaga ketat oleh puluhan sekuriti. Tetanggaku kebanyakan adalah pejabat, pemilik perusahaan ternama, dan orang-orang beruang lainnya.

Aku sudah sampai di depan pagar rumahku. Belum minta dibukakan gerbang, satpam rumahku tampak berlari tergopoh-gopoh.

"Den Riga kok nggak minta jemput Pak Gunawan?" tanya satpam itu. Napasnya tampak tidak teratur, efek dari lari barusan.

Aku memikirkan jawaban. "Iya. Lagi kepengen jalan kaki."

"Tumben, Den," gumam satpamku ini. Dia sudah tahu betapa manjanya aku. Jadi sangat aneh kalau aku mau bersusah payah jalan kaki dari sekolah kemari.

Aku hanya tersenyum lalu masuk ke dalam rumah. Aku segera menuju ke kamarku. Oh ya, ngomong-ngomong, aku tidak tinggal dengan orang tuaku. Orang tuaku ada di Perancis untuk mengurus bisnis keluarga.

Aku sendiri sejak kecil hanya tinggal dengan kakakku di sini. Selisih umurku dan umur kakakku adalah sepuluh tahun. Sekarang kakakku itu sudah menikah dan memilih untuk tinggal di rumahnya sendiri. Aku mulai tinggal sendirian di sini sejak lima tahun yang lalu. Tak apa, aku bisa kok hidup sendiri. Meski harus dikelilingi orang yang siap mengerahkan tenaga untuk membantuku.

Rumah kakakku agak jauh dari pusat kota. Ia memang mendapat tugas untuk memantau pabrik yang merupakan bisnis keluarga. Alhasil, aku hanya sesekali bertemu dengannya.

Nah, di rumah ini, aku hanya ditemani oleh satu kepala pengurus rumah, tiga orang pengurus rumah, satu sopir, dan dua satpam. Aku sendiri lebih akrab dengan mereka ketimbang dengan orang tuaku sendiri. Ya mau bagaimana lagi, aku hanya akan bertemu orang tuaku saat waktu liburan. Sedangkan aku dibesarkan oleh pengurus rumah ini.

Jam berdenting lima kali. Aku memilih menyudahi lamunanku dan bergegas mandi. Aku harus sampai di sekolah dalam dua jam lagi.

o0o

Aku sudah selesai mandi. Sekarang aku sedang berdiri di depan lemari. Mataku menatap tajam ke setiap isi lemari untuk memilih baju mana yang akan kukenakan malam ini. Sungguh, aku tidak tahu baju mana yang terbaik di antara baju yang kupunya. Oke, aku memilih bergaya santai tapi elegan saja.

Aku segera memakai bajuku. Begitu selesai berpakaian, aku segera membongkar meja belajar. Kuharap aku punya yang namanya topeng setengah wajah.

Dan syukurlah, setelah mengobrak-abrik sebagian besar barang-barangku di laci meja belajar, aku berhasil menemukan apa yang kucari sedari tadi. Topeng berwarna hijau dengan ukiran bunga. Tenang saja, topeng itu sama sekali tidak membuatku tampil feminin. Justru tampilanku saat ini terkesan dingin dan misterius. Keren juga.

Aku mencoba mengecek jam. Rupanya sekarang sudah pukul enam lebih lima belas menit. Aku dengan cepat membereskan barang-barangku yang berserakan lalu melangkah keluar kamar.

Pengurus rumah sudah menunggu di ujung tangga. Seperti yang sudah-sudah, beliau pasti memintaku untuk makan malam. Sayangnya, aku harus datang ke acara itu. Waktu yang kumiliki tidak tersisa banyak. Mana sempat aku makan malam.

"Den Riga, makan malam sudah siap," ucap Pak Tua. Ya, kepala pelayan di rumahku memang sudah tua. Bahkan sejak aku masih kecil, dia sudah tampak setua ini. Makanya dengan kurang ajarnya, aku memanggilnya dengan sebutan Pak Tua. Aku tidak tahu siapa nama aslinya.

Aku menggeleng, menolak makan malam. "Aku harus pergi ke suatu tempat, Pak Tua."

Pak Tua juga menggeleng. "Den Riga tidak boleh keluar rumah sebelum makan malam."

Aku menghela napas. Ya, Pak Tua memang begitu. Ia diminta mengawasi seluruh kegiatanku, mengatur hidupku, dan mengurusi ini itu.

Baiklah, aku segera menuju ke ruang makan. Makanan yang tersaji di meja lumayan banyak dan bervariasi. Tapi aku tidak sempat menikmati. Aku hanya mengambil beberapa irisan daging—aku tidak tahu daging itu diolah dengan cara apa—lalu mulai melahapnya cepat.

Pak Tua memintaku makan secara perlahan. Tapi sekali lagi, waktuku terbatas. Begitu Pak Tua lengah, aku langsung meninggalkan ruang makan. Aku berhasil keluar dari rumah dan meminta Pak Gunawan mengantarku kembali ke sekolah.

Mobil yang dikendarai Pak Gunawan menyusuri jalan yang sama saat aku pulang sekolah tadi. Ternyata suasana di sini makin gelap saja saat malam tiba. Lampu jalan hanya ada beberapa yang menyala. Sisanya, kurasa sudah rusak.

Tak sengaja, mataku melihat seorang gadis dengan gaun putih lusuh selutut berjalan di kegelapan. Bulu kudukku meremang. Untung saja aku diantar oleh Pak Gunawan. Coba kalau jalan kaki, pasti aku sudah putar arah dari tadi.

"Pak, bapak liat putih-putih itu nggak?" tunjukku ke arah si gadis berbaju putih.

Laju mobil melambat. Pak Gunawan tampak memperhatikan si gadis dengan seksama. "Liat, Den. Kenapa emangnya?"

"Hantu bukan Pak?" tanyaku lagi untuk memastikan. Pak Gunawan justru menepikan mobil. Aku bertanya panik, "Kenapa berhenti Pak?"

"Itu manusia, Den. Cewek lagi. Saya mau tawarin tumpangan. Kasian jalan malem-malem begini sendirian." Pak Gunawan membuka kaca mobil begitu mobil melaju sejajar dengan posisi gadis bergaun putih lusuh itu.

Aku makin melotot karena ulah Pak Gunawan. Seenaknya saja memberi tumpangan pada orang asing.

Tapi saat gadis itu menoleh, aku terdiam dan tidak jadi protes. Ternyata cewek itu Vienna. Sepertinya, aku berjodoh dengannya.

o0o

Jangan lupa vote and comment.

Love you all ❤

PEMILIHAN RAJA & RATU SEKOLAH (BAGIAN 1)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora