✉ 26 || Riga Nara Neonatha

1.6K 317 41
                                    

Aku menatap tajam ke arah Raja. Seenaknya saja dia bilang begitu. Apa dia lupa kalau kami duluan yang menemukan Rangga. Aku baru akan memprotes ucapan Raja tapi Kak Arthur berhasil mendahuluiku.

"Kami tetap akan ikut menangani masalah ini," ucap Kak Arthur tak kalah tegas. "Dan kalau kalian terus menghalangi kami, maka kami berhak melaporkan kasus ini ke polisi."

Ratu menoleh dengan cepat. Dia melepas topengnya, lalu membanting topeng itu ke lantai. Sepertinya dia benar-benar kesal menghadapi Kak Arthur.

"Ya sudah, terserah kalian mau apa." Ratu berucap ketus. Untung saja dia cantik, jadi meskipun wajahnya kusut, tetap masih enak dipandang.

Raja mencoba membawa Rangga yang tergolek tak bernyawa—eh, tak berdaya maksudku.

Kak Arthur sigap membantu Raja. "Kalau cidera begini, nggak boleh sembarang angkat-angkat. Bisa tambah parah cideranya."

Raja tampak menyipitkan mata. Tapi dia tidak membantah petuah Kak Arthur. Mungkin dia sadar kalau yang dikatakan Kak Arthur itu ada benarnya.

Mereka berlalu. Sedangkan aku, Vienna, dan Ratu masih saling tatap di ruangan ini.

"Gue, Raya. Kalau kalian penasaran," ucapnya memperkenalkan diri. Ia kemudian berlalu keluar dari ruangan itu.

Kupikir dia telah pergi, tapi ternyata dia balik lagi. Dia membawa sebuah kain dan botol berisi cairan dengan wangi luar biasa. Sepertinya dia mau membersihkan jejak-jejak kecelakaan yang menimpa Rangga.

Vienna menyentuh lenganku. Aku menoleh padanya. Dia tampak menggerakkan bibirnya, tanpa suara. Aku tidak berhasil menangkap ucapannya.

"Kenapa kalian bisik-bisik?" Ratu bernama Raya itu menatap aku dan Vienna dengan alis tertaut. Cewek ini kelihatan sadis banget.

Vienna tampak berjalan perlahan ke arah Raya. "Ada yang bisa kami bantu?"

Aku mengernyit atas sikap Vienna. Kenapa mendadak dia mau beramah tamah dengan Ratu bernama Raya itu?

Raya mendongak menatap Vienna. Lalu ia beralih menatapku, "Nggak ada. Kalau kalian mau pergi sekarang, silakan."

Vienna menggeleng. Dia masih berdiri di tempatnya. Tapi sepertinya dia akan bertanya lagi, "Bagaimana kondisi kandidat yang kemarin terluka?"

"Mereka baik-baik saja. Kamu tidak perlu khawatir," lirih Raya.

Entah aku yang salah dengar atau bagaimana, tapi suara Raya terdengar bergetar. Apa dia menangis?

"Kak?" ucapku mencari tahu kondisi kakak kelasku itu.

Raya bergeming. Dia tidak menoleh atas panggilanku. Aku melirik Vienna. Cewek itu juga tengah menatap ke arahku. Rupanya dia juga merasa ada yang tidak beres dengan Raya. Mungkinkah Raya sungguhan menangis? Kalau benar begitu, bisa kusimpulkan tampang sadisnya tadi hanyalah topeng belaka.

Vienna melangkah perlahan mendekati Raya. Dia berjongkok di samping Raya yang tengah menunduk.

"Kak," lirih Vienna sembari menepuk bahu Raya lembut.

Raya mendongak, "Gue nggak biasanya emosian kaya gini. Tapi ini bener-bener keterlaluan. Gue nggak sanggup lagi ngendaliin diri."

"It's okay, kadang kita memang nggak harus selalu tampil baik-baik saja." Aku berucap sok pengertian. Gila, dari mana aku dapat inspirasi kata-kata itu ya?

o0o

Setelah Raya bisa mengendalikan emosinya, kami pergi dari ruangan itu. Dia bilang dia perlu ke rumah sakit untuk bertemu Raja.

Berhubung Raya membawa mobil, aku menyuruh Vienna menemaninya. Aku sendiri akan mengikuti mereka dari balakang.

Kami melaju menuju rumah sakit terdekat dari SMA ku. Sepertinya rumah sakit ini masih satu yayasan dengan SMA ku.

Tak butuh waktu lama, kami sudah menemukan Kak Arthur dan Raja. Mereka tampak saling diam saat menunggu di depan ruang penanganan.

"Gimana kondisi Rangga?" tanya Raya begitu ia sampai di sisi Raja.

"Sepertinya dia akan baik-baik saja. Tapi kita masih harus menunggu sampai penanganannya selesai," jawab Raja. Baru kusadari kalau dia sudah tidak menggunakan topeng. Ya kalau dipikir-pikir memang akan terlihat aneh kalau orang itu datang ke rumah sakit dengan topeng menutupi wajahnya. Bisa-bisa ia dikira tengah membuat lelucon.

Kak Arthur diam saja. Sesekali dia melirik ke arahku, tapi tidak bicara apa-apa. Sementara Vienna, dia hanya terdiam di sebelahku.

Dokter keluar dari ruangan dan memberikan kabar baik untuk kami, "Kondisi pasien sudah stabil. Kami sudah memberikan penanganan terbaik kami. Secepatnya pasien akan dipindahkan ke ruang rawat. Meski begitu, kalian tetap tidak boleh mengganggu pasien terlebih dahulu."

Kami semua menghela napas lega mendengar penuturan dokter itu.

"Saya sebenarnya heran kenapa dari kemarin kalian berdua yang mengantarkan pasien-pasien itu. Apa ada masalah?" Dokter itu meneliti Raja dan Ratu lekat-lekat.

Raja hanya menggeleng, "Tidak ada masalah apa-apa."

Dokter itu tampak mengangguk-angguk. "Baiklah, saya permisi dulu."

Begitu dokter itu pergi, kami semua hanya terdiam dan saling melempar pandang. Bingung juga mau melakukan apa.

o0o

Kami memilih duduk bersama di sebuah resto yang buka dua puluh empat jam. Setelah tahu kondisi Rangga sudah stabil, kami lumayan bisa bernapas lega. Berhubung kami juga belum boleh menjenguk, jadi kami putuskan untuk menunggu di sini saja. Kami perlu bicara satu sama lain.

"Gue Arthur. Mantan Raja dua angkatan di atas Raja dan Ratu menjabat sekarang. Bisa dibilang, gue ini bisa membantu dalam menangani persoalan seperti ini. Walau gue nggak bisa menjanjikan apa-apa." Kak Arthur kembali memperkenalkan dirinya.

Raja dan Ratu saling tatap. Lalu Raja tampak mengambil alih pembicaraan. "Gue Valentino. Panggil gue Tino. Gue Raja menjabat tahun ini. Gue berani bersumpah kalau kejadian kemarin dan hari ini yang menimpa para kandidat itu sama sekali bukan ulah gue maupun Raya."

"Gue Raya, Ratu menjabat tahun ini. Seperti yang Tino bilang, gue juga sama nggak ngertinya kenapa kandidat-kandidat itu bisa terluka. Jujur, gue nggak masalah kalau memang kalian berniat ikut campur dalam urusan ini. Mungkin gue dan Tino kurang becus dalam memerintah, makanya semua ini terjadi."

"Giliran lo," tunjuk Raja bernama Tino itu pada Vienna dengan dagunya.

"Namaku Vienna. Salah satu kandidat Raja dan Ratu Sekolah tahun ini. Hmm, saya diseret Riga buat ikut-ikutan mencari tahu tentang perkara ini."

Sial, Vienna malah memojokkanku. Aku gemes banget sama dia yang terlalu jujur itu. Tapi ya omongannya memang benar. Aku lah orang paling kurang kerjaan yang berusaha menyelidiki hal ini.

"Nama gue Riga, temennya Vienna. Gue emang penasaran sama alasan kenapa kandidat Raja dan Ratu yang tidak terpilih akan menghilang, leyap begitu saja. Dan ternyata, gue melihat dengan mata kepala gue sendiri kalau temen-temen gue sesama kandidat itu celaka."

"Oke, sebelumnya biar kami luruskan dulu." Raya tampak mencondongkan tubuhnya. "Sejak kejadian pertama, kami tidak terlibat dalam aksi mencelakai para kandidat. Kami juga punya SOP dalam menjalankan tugas. Kami tidak akan membahayakan para kandidat. Toh kami sedari awal juga meminta kalian ikut serta secara baik-baik."

"Saat kejadian pertama, kami juga kaget karena menyadari salah satu dari kandidat tidak kembali ke lapangan. Begitu kami membubarkan kalian, kami segera mencari keberadaan kandidat yang hilang itu. Lalu kami temukan dia dalam kondisi tidak sadar dan penuh luka. Kami segera membawanya pergi ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan." Tino melanjutkan cerita Raya.

"Lalu kenapa kalian berusaha menghilangkan jejak kecelakaan yang menimpa kandidat?" Pertanyaan itu keluar dari bibir Vienna. Raja dan Ratu jadi kompak memelototinya.

o0o

Ayo, tinggalin jejak kalian dengan vote dan komen di cerita ini ya.

Love you all ❤

PEMILIHAN RAJA & RATU SEKOLAH (BAGIAN 1)Where stories live. Discover now