27. Jangan Nangis -Orion

13.5K 825 20
                                    

Kalian udah follow aku belum sih? Wkwk jangan lupa follow ya, biar tar kalo ada project baru langsung muncul tuh heheh. Makasih banyak udah nunggu kisah klasik dosen ganteng dan mahasiswi cantik ini. Jangan lupa vote dan share juga yaa kalo kalian rasa cerita ini layak untuk di baca.

Terimakasih.
Salam
Anastia B Simarmata




***

Bohong jika penghuni rumah tidak mendengar teriakan Orion. Namun mereka memutuskan untuk kembali ke kamar. Mereka percaya, Orion mampu mengendalikan semuanya.

Meski tadi Bunda ingin nekat untuk masuk ke kamar Orion, namun di tahan oleh Willy. Willy yakin, Orion sudah cukup tua untuk memikirkan semua keputusannya. Willy percaya, Orion mencintai Kanaya. Tentu, semua terbukti nyata dengan perbuatan Orion. Meski di persimpangan jalan Orion berbalik dari apa yang hatinya inginkan.

"MBAK NANTI KE KAMAR RAINA YA,"teriak Raina. Kanaya menutup mulutnya, ia takut mereka mendengar tangisnya.

Kanaya bangkit dari kejatuhannya. Hatinya mengatakan bahwa ucapan Orion hanyalah buah dari emosinya. Ia percaya Orion tidak benar ingin mengatakan itu.

"Pak,"panggil Kanaya. Ia mengusap air matanya.

"Aya gak ma--,"ucapan Kanaya terhenti. Dia benar-benar tidak kuat lagi. Ia menunduk, menggigit bibirnya. Ia menarik nafas kuat-kuat. Berharap tenang merasuk ke hatinya.

Kanaya memberanikan diri untuk berdiri tepat di depan wajah Orion.

"Bapak enggak benaran buat nyudahi semuanya kan?"lirih Kanaya. Suaranya benar-benar menyedihkan. Orion menutup matanya, ia benar-benar bingung hendak berbuat apa. Gengsinya benar-benar menekan keinginannya untuk memeluk Kanaya. Lalu membisikan maaf pada wanita ini.

"Kanaya,"ujar Orion. Helaan nafas berat keluar dari mulutnya. Kanaya menutup telinganya. Ia menggeleng berulang kali, ia tidak kuat jika harus mendengar kalimat itu lagi.

Orion membuka tangan Kanaya yang sedang menutup kedua telinganya. Lalu memegang bahu Kanaya.

"Jika bersama dengan saya adalah sebuah beban---,"

Ucapan Orion terpotong dengan Kanaya yang menghambur ke pelukannya.

"Enggak. Bapak enggak beban. Enggak boleh ngomong lagi. Saya gak mau dengar apa pun! POKOKNYA GAK BOLEH NGOMONG,"teriak Kanaya dengan tangis yang pecah, suara yang penuh dengan emosi.

Tangis Kanaya semakin meledak. Tangan Orion mengantung di sana. Dapat Kanaya rasakan pelukannya tak berbalas. Kanaya hampir menjatuhkan dirinya,namun Orion sudah lebih dulu memeluknya dengan sangat kuat. Seakan ini adalah pelukan terkahir, Orion ikut menangis. Ia menyesali kalimatnya. Ia terlalu berantakan dengan melihat memar di wajah Kanaya. Ia menyalahkan dirinya.

Banyak yang menyerang Kanaya hanya karna hubungan mereka. Andaikan Orion bukanlah seorang dosen, mungkin kejadian yang menimpa Kanaya tidak akan terjadi.

Isak Kanaya keluar. Suaranya benar-benar menciptakan pilu di hati Orion. Orion mencium lebih dalam puncak Kanaya.

"Jangan nangis lagi,"ujar Orion. Suaranya bergetar. Ia akui ia salah. Kanaya menggeleng.

"Aya salah."

"Aya bukan gak anggap bapak ada. Aya bukan meniadakan bapak di hidup Aya. Tapi hiks hiks."

"Ta--pi hiks hiks, kita la--gi gak dalam hiks, hu--b--ungan baik hikss,"suara Kanaya sudah tidak jelas lagi. Isaknya menganggu pelafalan abjad bibirnya. Orion semakin mengeratkan pelukannya pada wanita ini. Berharap tubuh yang bergetar di pelukannya boleh menjadi tenang.

Fell for My LecturerWhere stories live. Discover now