mt41

1.3K 56 21
                                    

Devan sedang mempacking pakaian milik Rena ke dalam sebuah tas, mamanya itu sedang di rumah sakit sejak sebulan yang lalu karena penyakitnya kambuh kembali. Devan sedih karena saat ini seharusnya ia berlibur dengan mamanya karena libur tahun ajaran baru dan Devan sudah menjadi murid kelas 7, seharusnya juga sekarang adalah waktunya membeli perlengkapan sekolah baru dengan mamanya. Tapi apa boleh, kesehatan mamanya adalah prioritasnya saat ini.

"Den, mau Bibi bantuin?" tanya bi Ina yang sedari tadi hanya melihat Devan dari balik pintu. Bi Ina adalah saksi perjalanan hidup Devan, ia menjadi saksi bagaimana Devan hidup sebagai sosok yang sangat menyayangi mamanya dan hidup diselimuti kebencian untuk ayahnya. Bi Ina bersyukur Devan telah tumbuh menjadi anak yang mandiri.

Devan membalikkan tubuhnya, lalu tersenyum melihat bi Ina. "Engga usah, Bi. Udah kok" Devan pun meresleting tasnya, bahwa dia telah selesai. Ia pun menggendong tasnya, "hayu, Bi."

Bi Ina mengangguk, ia memang selalu menemani Devan untuk mengunjungi Rena bahkan jika Devan ingin mengunjungi mamanya setiap hari.

Devan yang sudah bersemangat untuk mengunjungi dan membawakan baju ganti untuk mamanya diam seketika saat melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Tubuhnya mematung seketika, giginya bergemelutuk, tangannya mengepal, matanya menatap tajam, rasa amarah dan benci di dalam dirinya tiba-tiba ingin meledak. Sementara bi Ina kaget melihat Andi yang tiba-tiba datang dan berdiri di hadapan mereka. Mulutnya terbuka, ia menutupnya, namun setelah sadar ia lalu meneguk ludahnya dan menyapa Andi "Selamat Pagi, Pa."

Devan mendelik sambil mengembuskan napasnya kasar, ia melangkahkan kakinya kembali, jika ia terus diam, ia akan terlambat bertemu dengan mamanya. Devan berjalan melangkahi Andi, dan bersikap seolah-olah tidak ada siapa-siapa.

Andi geram melihat tingkah Devan seperti ini, ia menarik lengan Devan, dan Devan berbalik dengan sempurna. Devan meringis, cengkraman di lengannya sangat kuat sampai ia bisa melihat lenganna memerah, namun Devan harus kuat, rasa sakit ini bahkan tidak ada apa-apanya dibanding rasa sakit hatinya yang tak akan pernah bisa sembuh.

"Ayah kesini mau bicara sama kamu, Devan." Suaranya tinggi, tapi tidak membentak namun Devan tidak suka mendengarnya.

"Bapa siapa ya? Ayah saya? Maaf, mungkin Bapa salah orang. Dirumah ini sudah tidak ada sosok ayah, begitupun saya sudah tidak punya ayah. Saya hanya punya mama." Ujar Devan sambil menatap tajam Andi, suaranya dingin sekali, namun siapa yang menyangka di balik suaranya yang dingin, sebetulnya ia ingin menangis, memeluk ayahnya, mengatakan semua rasa sesak dalam dadanya bahwa dunia ini begitu berat jika tidak ada sosok ayah, ia rindu ayahnya. Namun, Devan sadar bahwa semua rasa sakitnya berasal dari ayahnya.

Andi mengembuskan napas panjang, ia melepaskan cengkramannya. Lalu ia mengulurkan sebuah amplop coklat ke hadapan Devan, "dia adik tiri kamu, namanya Cassandra, panggil aja Cassie, umurnya beda satu tahun sama kamu, ayah harap kamu bisa baik sama adik kamu."

Devan menyeringai, ia menerima amplop itu dan membuangnya asal. "Saya tidak punya saudara." Lalu ia berbalik dan melangkahkan kaki meninggalkan Andi.

Bi Ina yang daritadi diam, dengan segera mengambil amplop yang dibuang Devan lalu menyimpannya ke laci. Ia tersenyum dan pamit kepada Andi untuk segera menyusul Devan.

-

Bau khas rumah sakit membuat amarah Devan perlahan-lahan menguap, sudah 15 menit yang lalu ia dan bi Ina sampai tapi mereka tidak langsung ke kamar Rena karena Devan tidak mau mamanya melihat Devan yang mukanya memerah karena emosi. Devan hanya ingin terlihat bahagia setiap bersama mamanya.

"Devan, ayo! Mukanya udah ga merah lagi kok" ajak bi Ina.

Devan mengangguk, ia pun berdiri dan berjalan mendahului bi Ina, bi Ina hanya tersenyum melihat tingkah laku Devan.

Klik

Pintu terbuka dan menampilkan Rena yang sedang tersenyum menyambut kedatangan mereka, Devan langsung berlari memeluk Rena sambil berteriak, "mama!!"

Rena terkekeh sambil memeluk Devan, mengelus rambut Devan yang sekarang sudah wangi. Karena beberapa minggu yang lalu, Rena pernah memarahi Devan karena rambut Devan bau apek dan ia tidak mau memeluk Devan lagi sebelum rambut Devan wangi. Sejak saat itu, Devan menjadi anak yang rajin mandi.

"Devan kangen banget sama mama"

Rena menyentil dahi Devan, Devan meringis sambil mengerucutkan bibirnya, "kamu bohong sama mama, mana ada baru kemarin ketemu udah kangen lagi."

"Devan itu selalu kangen sama mama, mau itu tahun kemaren, bulan kemaren, kemaren, sejam yang lalu, semenit yang lalu, bahkan sedetik yang lalu pun kangen sama mama."

"Duh anak kecil kok udah ngegombal"

Devan menaikkan kedua alisnya, dan menurunkan bibirnya, "gombal untuk mama tercinta sih Devan jagonya."

Rena dan bi Ina tetawa mendengarnya ditambah ekspresi Devan yang bisa dibilang songong menambah rasa lucunya.

Hari itu, hari dimana tawa memenuhi kamar rumah sakit Rena. Devan yang semangat menyuapi mamanya makan, bercerita, menyanyi, bahkan akting hanya untuk melihat mamanya bahagia. Kebahagiaan Devan adalah kebahagiaan mamanya, dan kebahagiaan itu diciptakan.

-

Meski hari sudah berganti, kebahagiaan Devan masih terasa, ia masih mengingat dengan jelas suara gelak tawa dan senyum manis yang terukir dalam wajah mamanya. Kemarin, saking lelahnya, Devan tertidur di mobil tapi saat ia terbangun sudah ada di dalam kamarnya, ia yakin pasti pa supir yang telah memindahkannya.

Devan menguap dan menggeliat, ia belum bangkit dari ranjangnya, masih asik memandang langit-langit kamarnya dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar. Namun pandangannya terhenti saat melihat amplop coklat di atas meja. Dengan segera Devan bangkit untuk memastikan amplop itu amplop yang sama dengan yang kemarin atau bukan.

Napas kasar terdengar setelah Devan memperhatikan dengan seksama amplop yang dipegangnya saat ini adalah amplop yang sama dengan amplop yang diberikan Andi kemarin. Devan yakin pasti bi Ina yang sengaja menaruh amplop ini dikamanya.

Ia melangkah ke arah tempat sampah hendak membuangnya, namun kata-kata Andi tiba-tiba terngiang di pikirannya.

"Dia adik tiri kamu, namanya Cassandra, panggil aja Cassie, umurnya beda satu tahun sama kamu, ayah harap kamu bisa baik sama adik kamu."

Diurungkanlah niat membuang, Devan membuka isi amplop tersebut dengan perlahan. Terdapat beberapa foto didalamnya, seorang perempuan cantik bernama Cassandra.

Devan sudah tau siapa dia, Devan pun sudah berkenalan, bahkan menjadi teman semalam saat ia tidak tahu saat itu ayahnya mengajak dirinya bertemu selingkuhan ayahnya. Devan memandangnya lamat-lamat, menyimpan dengan baik seperti apa wajahnya di dalam memori otaknya. Di dalam hatinya, "lo bakal ngerasain rasa sakit yang gue dan mama gue rasain." Ia pun meremas foto itu sampai menjadi bola kertas, lalu dengan kasar membuangnya.

---

Terimakasih untuk yang selalu nungguin cerita ini.

Terimakasih atas support nya sehingga saya semangat nulis, huhuu saya terharu.

Terimakasih atas vote,comment kalian yaa...

Author sayang kaliaann 

MY TWINOn viuen les histories. Descobreix ara