mt43

420 30 9
                                    

Fariska tersentak kaget saat Devan  tiba - tiba menghentikan langkahnya, ia langsung bersembunyi di balik dinding. Ia takut Devan tau ia mengikutinya atau memang Devan tau diikuti dan ingin memarahinya. Ia mengintip dari balik dinding, Devan masih berdiri mematung, bahunya naik turun, seperti sedang mengatur napas.

Baakk!

Mata Fariska membulat ketika Devan mulai mengarahkan tinjunya ke dinding. Tinjunya terus berulang sampai Fariska bisa melihat kulit Devan sudah mengelupas dan darah sudah mengalir di tangannya. Fariska menggigit bibir bawahnya, mengepalkan tangannya, mengumpulkan keberanian, lalu berlari mendekati Devan.

"Devan stop! Udah plis!" teriak Fariska sambil menarik tangan Devan.

Devan menatap Fariska, matanya dipenuhi amarah yang sedang meluap - luap, napasnya tidak teratur, bahkan ia melepaskan tangan Fariska dengan kasar sampai Fariska meringis, tapi Fariska menahan tangan Devan lagi.

"Plis ya Van, lo jangan sakitin diri lo kaya gini. Sekarang lo ikut gue ke UKS, gue obatin luka lo." Fariska menarik lengan Devan agar mau mengikutinya ke UKS, namun Devan menahannya dan membuat Fariska berbalik sehingga tubuhnya menghadap ke Devan lagi.

"Van, sekali ini aja plis nurut sama gue." ujar Fariska kesal.

Devan menarik Fariska, dan dengan sekejap Fariska sudah ada dalam dekapan Devan.

"Sebentar aja" lirih Devan sambil memeluk erat Fariska.

Tubuh Fariska mematung, ia bingung harus bagaimana. Kalau boleh jujur, ia tidak suka dipeluk Devan. Tapi kalau ia mendorong Devan, bisa - bisa bukan dinding lagi yang ditinju Devan tapi dirinya.

-

Fariz masih setia menunggu Cassie yang sedari tadi belum beranjak setelah ditinggalkan Devan.

"Udah 45 menit masa dia ga bergerak sih, kayanya ada yang ga beres nih." Ujar Fariz.

Ia bangkit dan melangkah mendekati Cassie. Kening Fariz berkerut saat mendengar suara isakan seseorang, namun semakin ia mendekat, suara itu semakin besar. Dan benar saja, Cassie sedang menangis.

"Cas, lo nangis?" Tanya Fariz karena ia tidak percaya Cassie yang selama ini ia kenal sebagai sosok yang dingin, menangis karena Devan.

Isakan Cassie terhenti mendengarnya, ia dengan cepat memalingkan wajahnya dan menghapus air matanya dengan cepat. Setelah mengatur napasnya, Cassie bangkit hendak pergi meninggalkan Fariz. Namun Fariz menahan lengan Cassie, membuat Cassie terdiam.

"Maaf kalau gue ganggu lo, kalau lo masih pengen nangis, nangis aja, gue ga akan ganggu kok. Tapi ijinin gue temenin lo ya. Gue gabisa liat cewe nangis, apalagi nangisnya sendirian."

Cassie dengan cepat melepas tangan Fariz dan melangkah menjauh seakan kata - kata Fariz tadi tidak mempan untuknya.

Fariz mengembuskan napas panjang, ia tidak bisa mengikuti Cassie lagi karena sudah jelas bahwa Cassie tidak mau ada dirinya. Entah kenapa ia kecewa dengan penolakan ini.

-

Setelah adegan peluk - pelukan dengan Devan, Fariska dengan cepat membawa Devan ke UKS sebelum Devan berubah menjadi tidak terkendali lagi.

"Ahh" Devan meringis saat Fariska memberi betadine pada luka Devan.

"Kan gue udah bilang, gausah nyakitin diri sendiri. Nih akibatnya, sakitkan?" Ujar Fariska sambil menekan dengan keras luka Devan sampai Devan teriak kesakitan.

Dengan kesal Devan menarik rambut Fariska yang dikuncir satu itu, membuat Fariska berteriak. "Makannya gausah kurang ajar sama gue" balas Devan sambil menjulurkan lidahnya.

Fariska mengerucutkan bibirnya, "nih obatin sendiri." ujar Fariska sambil menyerahkan betadine ke Devan.

Devan tersenyum, lalu mengacak - ngacak rambut Fariska dengan gemas, "yeh malah ngambek, udah cepet nih obatin lagi" sambil mengulurkan tangan kanannya ke arah Fariska.

Fariska dengan setengah hati mengobati kembali tangan Devan, karena ia sadar ia yang memaksa Devan untuk mengobati tangannya.

"Tapi Van, lo kenapa bisa sampe marah kaya gitu sih?"

"Lo kan daritadi ngikutin gue, denger percakapan gue sama Cassie. Kok masih nanya?"

Mata Fariska membulat, "looo tau gue buntutin?" tanya Fariska sambil memperlihatkan sederet giginya yang rapi.

"Awalnya gue ga sadar sih, cuma ya gimana caranya lo tau kalo gue ada disana kalau lo ga ngikutin gue. Gue pikir ya lo cuma lagi lewat aja, eh ternyata lo buat pengakuan sendiri. Hahahaha."

Fariska merasa malu, namun ia bahagia, setidaknya Devan sudah bisa tertawa kembali. Rasanya ingin bertanya lebih dalam lagi, tapi ia tidak mau membuat suasana hati Devan buruk kembali. Ia kembali fokus pada tangan Devan, dan suasana menjadi hening.

"Cassie, anak selingkuhan bokap gue." Ujar Devan memecah keheningan.

Mulut Fariska terbuka, "ahh, makannya lo marah kaya gini."

"Gue benci sama ibunya karna ngerebut sosok suami dari mama gue, dan gue benci sama dia karena udah rebut sosok ayah dari gue." Lanjut Devan dengan nada yang dingin.

Fariska diam, ia tidak tahu harus merespon seperti apa.

Devan mengembuskan napas kasar, "tapi mereka dengan rasa ga bersalah masih ganggu hidup gue."

Fariska menggigit bibir bawahnya, ia tidak boleh diam saja karena sudah berjanji pada Devan untuk menjadi pendengar yang baik.

Fariska menepuk pundak Devan, "emm gue ngerti perasaan lo kaya gimana, tapi sekarang lo jangan marah - marah lagi ya. Mending traktir gue makan, gue laper nih, itung - itung lo bayarin gue ngobatin lo." ujarnya sambil tersenyum.

Devan memutar matanya malas, namun ia bangkit dan mengenggam tangan Fariska lalu berjalan keluar UKS. Lagi - lagi, Fariska ingin melepas tangan Devan namun apadaya, ia tidak mau membuat Devan marah.

---

Haloo...

Jadi saat ini saya ada waktu luang buat ngelanjutin cerita ini.

Untuk itu, saya mau minta kritik dan saran yaa..

Itu pasti sangat membantu saya.

Terimakasih <3

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jan 23, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

MY TWINWhere stories live. Discover now