mt10

7.9K 395 10
                                    

Devan Pov.

Kalau gue boleh jujur,sebenarnya gue mau ngungkapin apa yang ada di hati gue tapi ga tau kenapa pikiran gue mendadak ngeberhentiin mulut gue. Menurutnya,gue itu ga ada hubungan apa apa sama Fariska. Fariska hanya 'teman'. Teman yang tidak bisa dibilang teman. Gue tau dia itu cuma manfaatin gue,tapi gue juga tau kalau dia ngelakuin ini semua biar gue lebih baik lagi. Salah satunya ya dengan bantuan Fariska. Setidaknya itulah yang dinamakan saling menguntungkan.

Tadi,gue pergi ninggalin Fariska yang sepertinya masih penasaran sama apa yang mau gue omongin. Tapi masa bodolah,hal itu ga akan ngerubah Fariska sedikitpun tentang gue-sepertinya.

Gue pergi bukan untuk balik ke rumah,melainkan pergi ke tempat tongkrongan.

"Hey Dev!" Gue menoleh dan mendekati sumber suara.

Tempat tongkrongan gue bukan tempat macem macem kok. Meski gue dan temen temen gue adalah sesosok remaja yang dalam masa pubertasnya menjadi troublemaker,kita ga neko neko. Tempat nongkrong yang nyaman dan modern,bukan di bawah kolong jembatan atau tempat tempat kecil dan sepi. Cafe. Ya,sebuah tempat yang bernama Cafe. Dan kebetulan,Cafe ini punyanya saudara temen gue. Ya udah,jadiin tempat tongkrong dan sekalian juga ngelarisin ini Cafe. Selain kita yang makan dan minum--bayar-- kita juga adalah cogan,dan cewek cewek diluar sana rela ngabisin uang mereka untuk nongkrong di Cafe ini sambil liatin kita sebagai tontonan gratis yang tak boleh dilewatkan.

"Udah lama disini?" Tanya gue sambil menepuk pundak Gibran--dia yang panggil gue tadi.

Gibran menaikkan bahunya dan menunjuk ke arah meja dengan dagunya. Gue ngerti,Gibran udah lama. Terlihat dari puntung  rokok yang udah beberapa di dalam asbak dan dua cangkir kopi yang sudah habis.

"Yang lain mana?" Tanya gue lagi sambil ngeluarin sebatang rokok punyanya Gibran.

"Kitakan ga janji kumpul" jawabnya sambil berdiri. Dan nepuk pundak gue "duluan,ada urusan. Sorry" ujarnya dan berlau pergi.

Gue baru aja mau nyalain rokok tadi,tapi gue inget kata kata yang dilontarkan Fariska di kamar gue. Gue memasukkan kembali rokok itu kebungkusnya dan bangkit dari kursi. Gue berjalan ke lantai dua Cafe ini. Gue sekarang lagi ingin cari angin segar,dan lantai ini paling cocok menurut gue. Sambil ngopi,liatin langit sore itu jauh lebih indah daripada ngerokok dan liatin asapnya yang di bulet buletin. Eh,gue ngomong apa ya?

**

Author Pov.

Fariz meninggalkan rumah Daffa dengan wajah sedikit sembab. Ia bahkan tak bisa membohongi dirinya jika mengatakan dirinya tak bisa ikut menangis saat Daffa tiba tiba menangis mengingat kenangan yang ingin dilupakannya jauh jauh. Tapi kenangan ini berbeda. Seakan masuk ke dasar hati mereka masing masing dan mencari tempat yang tak bisa di bongkar dan di buang jauh jauh. Kenangan itu menempel begitu  rekat di hati mereka dan tiba tiba akan membuka dengan sendirinya memerintahkan mereka mengulang kenangan masa lalu itu.

Tiidd!

Klakson motornya berbunyi keras,bahkan yang mengemudikannya refleks menekan klakson. Pikirannya sekarang tidak bersamanya,seperti sedang mengelilingi langit dan menghitung seberapa luasnya langit.

"Sorry sorry" ujar Fariz sambil turun dari motornya dan berlari ke arah depan.

"Lo ga apa apa kan?" Cewek itu tertunduk duduk di jalanan. Badannya memang tidak apa apa. Tapi jantungnya sekarang yang ada apa apa.

Setelah berdiri,cewek itu menggeleng lemah. Merapihkan rambutnya dan menyelipkan beberapa anak rambut du belakang telinganya.

Fariz membulatkan wajahnya saat melihat korbannya ini adalah cewek yang dikenalnya.

MY TWINWhere stories live. Discover now