M. P. B. 2. 33. Perasaan Asing.

4.5K 329 68
                                    

"Oke, Vania. Gue mau to the point aja." Reyhan memulai pembicaraannya, berhadapan dengan Vania yang duduk dengan tegang dan harap-harap cemas.

"Gue ke sini cuma mau ngasih ini buat lo," lanjutnya lantas mengangsurkan sebuah map berwarna coklat ke hadapan Vania.

"Ini apa, Bang."

"Buka aja," titah Reyhan saat melihat Vania hanya membolak-balikan map coklat yang ada di tangannya

Vania mengangguk patuh. Dibukanya map tersebut dengan hati-hati. Mata Vania membola, ia membekap mulutnya tak percaya.

"In--ni ... ini kan?" ucapan Vania tertahan, ia menatap Reyhan dengan tak percaya.

"Iya, itu sertifikat rumah lo."

"Ba-bagaimana bisa?"

Reyhan mengedikan bahu, "Maybe masih rejeki lo."

"Bang, gue serius," todong Vania karena tak puas dengan jawaban lelaki di hadapannya.

"Gue juga serius."

Vania mendesah, dan Reyhan terkekeh kala mendapat tatapan setengah kesal dari sahabat adik kesayangannya.

"Saat bunda tau nyokap lo jual rumah, bunda langsung minta gue buat cari tau siapa pembelinya, dan setelah gue melakukan penelusuran ternyata tante  Alisa jual rumah kalian ke salah satu karyawan anak cabang perusahaan Ayah di Padang."

Reyhan sempat menjeda ucapannya, perhatiannya teralihkan oleh mata coklat Vania yang berkaca-kaca.

"Sekarang rumah itu udah jadi milik kalian lagi."

"Bang ... Rey ...."

Reyhan membeku. Vania yang secara tiba-tiba berhambur kepelukannya membuat tubuhnya seakan lumpuh seketika. Ia menahan napas saat  gadis yang usianya terpaut hampir tujuh tahun dengannya  itu begitu erat mendekapnya.

"Makasih banyak, Bang." Vania terisak. "Makasih udah kembaliin rumah kami. Ibu sama Vano pasti bakal seneng denger kabar ini."

Reyhan tak menjawab, ia hanya bergeming dengan perasaan berkecamuk. Ada sesuatu yang mengusik batinnya saat mendengar isakan lirih yang keluar  dari bibir Vania. Tangannya hampir terangkat untuk membalas pelukan gadis itu, namun ia urungkan. Entah mengapa sebagian hatinya menolak untuk melakukan hal itu.

"Van .. sorry." Dengan perasaan tak enak hati Reyhan berusaha mengurai pelukan Vania. Vania yang menyadari ketidaknyamanan laki-laki yang sedang dalam pelukannya seketika berjengit, terkejut atas kelakuan dirinya sendiri.

"Eh, maaf, Bang. Sorry, refleks," ucapnya seraya menyeka air mata dengan kasar lantas mengembangkan senyuman. Namun tak bertahan lama, hanya dalam hitungan beberapa detik senyuman itu berubah menjadi ringisan. Malu. Dalam hati ia mengutuk kebodohannya  yang telah berani-beraninya memeluk Reyhan dengan seenak jidatnya. Sungguh lancang!

"Maaf, Bang. Terlalu seneng." Vania  kembali meminta maaf.

"Sampe lupa diri." Reyhan menimpali dengan kalimat sarkastisnya, membuat senyuman Vania yang lebar, meredup seketika.

Ingin mengumpat sebenarnya, tapi biarlah. Rasa bahagia yang Reyhan bawa untuknya lebih hebat dari rasa kesal yang lelaki itu berikan. Vania tidak akan protes kali ini.

"Pokoknya sekali lagi makasih, Bang. Gue seneng banget." Vania menyeka bulir air mata yang lagi-lagi tanpa bisa ditahan mengalir deras di atas kedua pipinya. "Gue janji gue bakal cicil uangnya sampai lunas."

"Gue nggak mau dicicil," sahut Reyhan dan sukses melenyapkan keceriaan di wajah Vania dalam hitungan detik.

"Tapi ... gue nggak punya uang sebanyak itu kalau harus bayar sekaligus, Bang."

M.P.B. 2 [Suami Bocah] 17+Where stories live. Discover now