M.P. B. 13. Gara-Gara Ojol.

6.2K 393 25
                                    

Alka mengulas bibir dengan tangan yang dibasahi air keran, membersihkan sisa-sisa carian bening yang setiap pagi selalu merangsek keluar diiringi rasa mual yang tiada tara.

Kehamilan Lovika  sudah memasuki bulan ke tujuh, namun anehnya morning sickness yang melandanya belum juga mereda. Membasuh wajah beberapa kali, Alka berjalan keluar kamar mandi dengan  wajah yang pucat pasi, membuat sang bunda dan ayahnya memandang penuh rasa iba.

"Tiap hari Adek begini?" Mahira mengelus pucuk kepala Alka dengan lembut, sedangkan yang dielus hanya mengangguk lemah sebagai jawaban.

Mahira menghela napasnya berat, merasa prihatin dengan kondisi Alka  yang terlihat lebih kurus dari biasanya. Pandangannya  beralih pada menantu kesayangannya yang hendak duduk dengan sedikit susah payah dengan segelas teh hangat tergenggam di tangan sebelah kanan.

Dengan cekatan ia berdiri, menarik kursi lantas membantu Lovika mendudukan pantatnya dengan nyaman. Usia kehamilan Lovika memang belum genap tujuh bulan, namun karena porsi makan yang mengalami peningkatan dua kali lipat lebih banyak dari biasanya, membuat bobot tubuh wanita itu semakin hari semakin bertambah. Kini kondisi tubuh Lovika  lebih terlihat seperti ikan buntal dibandingkan wanita hamil.

"Makasih, Bund." Lovika melempar senyuman seterang bulan pada mertuanya yang langsung dibalas mahira dengan anggukan dan senyuman yang tak kalah hangat.

"Iya, sayang," sahutnya lantas mengelus pucuk Lovika dengan sayang.

"Diminum dulu teh nya,  Al." Lovika menaruh gelas tepat di hadapan Alka, bibirnya merekah untuk kembali memamerkan senyuman saat Alka membelai pipinya dan mengatakan, "Makasih, Yang," dengan lembut.

"Adek sarapan buah pisang aja ya? Biar nggak mual."

Alka mengangguk, menuruti perkataan bundanya. Selain perasaan tak enak hati menolak tawaran sang bunda, rasa lapar yang sudah menyerang perut tanpa ampun membuat Alka tak sabar meraih buah pisang dan melahapnya tanpa sisa.

Belum kunyahan pisang sampai sepenuhnya ke dalam lambung, Alka kembali berlari ke kamar mandi, memuntahkan semua isi perutnya sampai tandas. Butuh waktu lima menit bagi Alka untuk bisa kembali terduduk lemas di atas kursi.

Mahira cemas, namun elusan lembut  dari tangan suaminya membuat wanita paruh baya itu sedikit merasa tenang.

"Kalau tiap diisi perutnya selalu muntah, terus adek makannya gimana?" Revon yang sedari tadi hanya memperhatikan akhirnya bersuara.

"Cuma sampe jam sembilan doang, Yah, sudah  itu Alka bisa makan seperti biasa."

Revon mengangguk paham selagi Alka bersedekap, menjadikan  tangannya sebagai bantalan kepalanya yang tergelak lemas di atas meja.

"Sabar ya, Dek." Reyhan yang baru tiba di ruang makan langsung mengacak rambut adik bungsunya dengan jahil, membuat wajah  sang empunya kepala memberenggut sebal.

"Anggap aja lo lagi berenang tiba-tiba diajakin naik rakit." Kening Alka berlipat merasa tidak paham dengan ucapan Reyhan, "Maksud lo?"

"Kemarin kan udah seneng-senenengnya sekarang tinggal sakit kemudian," Reyhan menyeringai, lantas mendekatkan bibirnya tepat di dekat telinga Alka, "anggap aja lo lagi belajar bertanggung jawab atas perbuatan ena-ena lo terdahulu," bisiknya dan langsung mendapat sikutan maut dari Alka.

Reyhan meringis, mengabaikan rasa sakit pada perutnya. Wajah kesal bercampur malu milik Alka terlalu sayang untuk dilewatkan. Selagi bisa Reyhan akan menikmatinya. Semenjak adik bungsunya menikah, momen seperti ini sangat jarang sekali terjadi. Alka terlalu sibuk dengan kehidupan barunya. Menjalankan peran sebagai suami, mahasiswa dan calon direktur di perusahaan mertuanya.

M.P.B. 2 [Suami Bocah] 17+Where stories live. Discover now