M. P. B. 2. 32. Malaikat Tak Bersayap Bag. 2.

4.3K 281 29
                                    

"Van ... gue boleh tanya?"

Vania tersenyum, "Tentu, Kak."

"Ehmmm ... kalau boleh tau, sekarang giamana perasaan lo ke Alka?" tanya Lovika ragu-ragu.

Vania membisu, namun sejurus kemudian ia mengatakan satu kalimat yang berhasil membuat Lovika tercekat di tempatnya.

"Gue cinta sama Alka," akunya, lantas mendongak, menatap Lovika tepat pada iris matanya. "Maaf kalau kejujuran ini menyakitkan buat lo, Kak. Tapi memang itulah kenyataannya. Keputusan gue udah bulat. Gue ingin kita menjadi teman bahakan sahabat. Gue nggak mau menyembunyikan apa-apa lagi dari lo."

Lovika terdiam, bibirnya kelu. Bersahabat dengan perempuan yang begitu mencintai suaminya dengan amat sangat pasti tidak mudah. Ia yakin akan banyak hal yang perlu ia tebus untuk sampai di titik aman.

Vania tertawa melihat wajah Lovika yang mendadak pias. "Lo tenang aja, Kak. Gue bukan perempuan jahat. Secintanya gue ke cowok, gue nggak akan pernah sanggup merebut seorang suami dari istrinya."

Lovika menelan ludah, sekentara itu kah wajahnya menggambarkan refleksi isi hati dan pikirannya. Ia jadi tak enak hati pada Vania.

"Salah satu penyebab bangkrutnya perusahaan bapak itu pelakor," tuturnya lirih, namun mampu menyengat jantung Lovika hingga kebagian paling dalam.  Pengakuan Vania begitu mengejutkan. Rasa bersalah seketika menyeruak ke permukaan. Ia menyesal telah berpikiran buruk pada Vania.

Vania mendesah lantas menyandarkan tubuhnya dengan lemas pada sandaran bangku yang di dudukinya.
"Gue benci perempuan perusak rumahtangga orang, Kak. Sampai detik ini, wajah wanita itu masih melekat jelas diingatan gue. Gue jijik."

Vania memejamkan mata, tubuhnya bergetar, ia kembali menangis. Lovika yang lemah hati, langsung merapatkan diri untuk merangkul pundak Vania lantas mengelusnya dengan lembut.

Kumpulan kata yang dirangkai otaknya tercekat di tenggorokan. Lidahnya seakan lumpuh tak mampu bergerak saat melihta Vania yang begitu terguncang, hanya tangannya yang tetap aktif bergerak berusaha menyalurkan kekuatan melalui setuhan lembut yang ia ciptakan.

"Gue korbannya, Kak." Vania tersedu, "Gue nggak mau jadi pejahatnya."

"Gue percaya sama lo."

Satu kalimat namun sarat arti bagi Vania. Perempuan itu langsung menegakan tubuhnya, meraih tangan Lovika, dan meremasnya dengan kuat. Ucapan Lovika bagaikan suntikan vitamin berkandungan semangat bagi jiwanya.

"Lo beneran percaya sama gue, kan?"

Lovika melempar senyuman hangat nan menyejukan saat Vania menatap matanya penuh harap. "Iya."

"Terima kasih," ucap Vania. Ia kembali berhambur memeluk Lovika. Kali ini lebih erat dari sebelumnya. Perasaannya lega bercampur bahagia. Rasa bersalah yang menginvasi hatinya perlahan menguar tanpa jejak.

"Kak, gue janji. Gue akan mengikis perasan ini pelan-pelan. Gue cuma butuh waktu." Vania menunduk, matanya beralih menatap rumput taman yang berada tepat di bawah kakinya. Bermaksud menyembunyikan wajah sedihnya dari Lovika. "Kalau perlu gue akan resign dari kantor Alka, Kak."

Lovika menggeleng, "Nggak perlu, gue tau lo butuh kerjaan itu, kan?"

"Tapi, Kak. Seenggaknya dengan berkurangnya intensitas pertemuan gue dengan Alka, itu akan sangat membantu gue agar cepat move on. Soal kerjaan gue bisa cari di tempat lain."

"Van ...," Lovika menyentuh lengan Vania, "dengan lo menjaga hati dan sikap itu udah cukup buat gue, jangan berlebihan. Please,  jangan bikin gue terkesan jadi tokoh antagonis di sini."

M.P.B. 2 [Suami Bocah] 17+Where stories live. Discover now