Klinik

280 36 42
                                    

Kinara mengerjapkan mata berulang kali sembari memegangi kepalanya yang terasa berat. Aroma khas obat-obatan menyeruak menusuk indra penciuman, persis aroma ruangan terkutuk yang sering di kunjunginya belakangan ini.

"Udah baikan?"

"Kak Dimas?" Kinara mulai membuka mata sepenuhnya mendapati Dimas yang duduk di sebelah brankar-nya.

"Kok gue ada di sini?"

"Lo pingsan di parkiran makanya gue bawa ke sini."

"Oh iya, ini jam berapa?" tanya Kinar sembari memerhatikan sekeliling, baru kali ini dia menginjakkan kaki di Ruang Kesehatan kampusnya.

"Bentar lagi juga pulang." Kinar mengangguk, rupanya sudah cukup lama dia berbaring.

"By the way thanks ya kak." Dimas tidak menyahut, dia hanya memperhatikan Kinar, merasa kasihan.

"Ngeliatnya biasa aja, gue gak suka dikasihani." Kinara mengubah posisinya menjadi duduk.

"Lo gak nanya Vero kemana?"

"Kemana emangnya?" Kinara baru sadar tadi pagi ia naik taksi ke Kampus.

"Dia lagi di sekret, rapat mingguan. Kelar langsung nyusul ke sini," kinar mengangguk. "Oh ya, Anna juga nitip lo ke gue, dia masih di kelas."

"Gue bisa temenin Lo di sini sampe Vero datang."

"Kak Dimas balik aja, gue baik-baik aja kok."

"Tanggung bolos, gue tau Lo nggak baik-baik aja Ki. Mungkin gue nggak bisa kasih solusi tapi seenggaknya gue bisa jadi pendengar yang baik."

☁️☁️MENDUNG☁️☁️

"Bunda, Kinar pulang ya," pamit Kinara pada Hana.

"Iya sayang hat-hati, bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut ya Vero." Vero mengangguk lalu mencium punggung tangan Hana bergantian dengan Kinara.

Mobil yang mereka tumpangi keluar dari pekarangan rumah Dimas. Sudah sore, Kinara tidak mau mengkhawatirkan kakaknya. Terlebih dia sudah berjanji.

"Telepon gue kalo Lo butuh sesuatu." Kinara tersenyum masuk ke halaman rumahnya.

Malam hari nya Kinara beranjak menuju kamar Alan.

"Coba lo ngomong baik-baik sama dia."

Ucapan Dimas masih terngiang di telinga Kinara. Cowok itu benar tidak ada salahnya Kinar mencoba. Semoga kali ini Alan menghiraukannya. Kinara menelan saliva-nya dan mencoba memberanikan diri.

"Siapa?" Terdengar sahutan dari dalam setelah pintu diketuk.

Dengan pelan Kinar membuka pintu dan berjalan dengan langkah gemetar menghampiri Abangnya yang berada di balkon.

"Bang Alan."

Alan menoleh mendapati iris mata Kinara yang terlihat sendu. Rasa bersalah kembali mencuat dalam dadanya mengingat kejadian tadi pagi. Hanya beberapa detik, setelahnya Alan kembali memalingkan wajah. Alan bukanlah orang yang mudah luluh karena rasa iba, bencinya mungkin sudah mengakar.

"Ngapain Lo di sini?" Alan bertanya dalam nada dingin.

Kinara menggigit bibir bawahnya, memberanikan diri mendekati Alan yang berdiri membelakanginya.

"Kinar tau Bang Alan gak pernah suka sama kehadiran Kinar, Kinar juga tau Abang gak akan maafin Kinar. Tapi Kinar mau tau apa ini hanya karena Mama? Kinar berhak tau alasan Abang benci Kinar!"

Tubuh Alan membeku, dia tidak tahu harus bersikap seperti apa.

"Gue rasa Lo cukup cerdas untuk mengerti semuanya. Gue gak perlu kasih alasan kenapa gue bersikap seperti ini. Berhenti sok polos dan sok gak tau apa-apa Kinara! Lo tanya sama diri lo sendiri!" Tajam Alan dengan penuh penekanan.

Kinara merinding ketika Alan sengaja mengeja dengan nama 'Kinara' bukan 'Alea'. Iris bening Kinara berkaca-kaca.

"Jadi benar semuanya karena meninggalnya Mama? Abang tahu kan itu cuma kecelakaan? Kinara juga kehilangan Mama, Kinar juga terluka lebih dari Abang. Kinar sama sekali nggak mau kehilangan Mama sama seperti Abang. Tapi takdir berkata lain, andai Kinar tahu hari itu akan ada kecelakaan Kinar nggak akan maksa Mama pergi malam itu. Tapi Kinar bukan Tuhan Bang."

Alan tersenyum getir, baginya penjelasan Kinar tidak berguna. Dirinya akan tetap kecewa. "Dulu gue bangga punya adik kaya lo, tapi sekarang gue bahkan gak mau ngeliat muka lo! Percuma lo ngomong kayak gini, karena itu nggak bisa ngerubah apapun, yang ada gue makin benci sama lo Kinara! Gue muak ngeliat muka lo yang sok tersakiti. Sampai kapanpun gue akan tetap benci sama lo! Gue benci sama takdir buruk yang menimpa orang yang gue sayang semenjak kehadiran lo Kinara. Gue harap lo segera lenyap dari pandangan gue, bila perlu dari kehidupan ini!"

Setitik air mata lolos dari sudut mata Kinara, mendengar secara langsung nyatanya jauh lebih menyakitkan. Tidak ada nada membentak dalam perkataan Alan tapi mengapa dada Kinara begitu sesak mendengarnya? Sebegitu besar-kah kebencian Alan terhadap dirinya? Sebegitu berharapnya kah Alan akan kepergiaannya.

"Abang benar gak ada gunanya juga Aku ngomong kayak gini sama Abang. Toh hati Abang udah membatu, mata Abang udah dibutakan kebencian. Tapi Aku mohon, jangan beri aku alasan untuk segera pergi dari dunia ini."

Kinara memejamkan matanya, menghapus jejak air yang menempel di pipinya. Ia harus segera pergi jika tidak mau hatinya lebih patah lagi. Sejauh ini dia sudah berusaha untuk bertahan, dia tidak boleh kalah pada takdir. Kinara tidak boleh lemah hanya karena perkataan orang lain.

Kinara harus tetap berdiri kokoh setegar karang di lautan.

Perihal keluarganya, tidak ada yang bisa diperbaiki. Kinara menyerah, biar saja semesta bertindak semaunya.

Alan menatap nanar punggung Kinara hingga hilang sempurna di balik tembok. Selepas kepergian adiknya itu, Alan hanya bisa mematung tanpa bisa beranjak sedikitpun.
"Andai Kamu tahu alasan sebenarnya kenapa Abang benci sama Lea? Abang gak bisa ngasih tau sekalipun Abang mau. Abang sayang Lea, tapi rasa sayang ini gak bisa ngalahain kebencian itu."

**

Pukul dua belas malam Kinara belum bisa tidur, percakapan dengan Alan terus bergema seolah ingin menetap di pikirannya.

Selama itu juga tangisnya tak mau berhenti, dia menangis, meraung di bawah bantalnya yang sudah basah oleh air mata. Sakit itu datang lagi, entah mengapa sakit fisiknya selalu hadir ketika batinnya terluka. Kinara ingin berteriak, ingin marah sejadi-jadinya, hingga rasanya ia ingin mati saja.

Batinnya terus berteriak merapalkan kenapa? dan kenapa?

Pacar Sinting
"Gue butuh Lo, Kak."

Entah mendapat keberanian dari mana Kinara mengetikkan pesan singkat kepada Vero, cowok yang kini menyandang status sebagai kekasihnya. Mungkin ini saatnya Kinara membiarkan Vero masuk ke dalam area rentannya.

Tak lama dering telepon bergema.

"Halo," suara Kinar terdengar serak.

"Sepuluh menit gue sampai di rumah Lo." Belum sempat Kinara protes Vero sudah memutuskan sambungan sepihak.

" Belum sempat Kinara protes Vero sudah memutuskan sambungan sepihak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Salam dunia Oren🧡

Mendung (Eccedentesiast)Where stories live. Discover now