Kosong

71 6 6
                                    

"Tanpamu aku bagai raga tak bernyawa, kosong, hampa. Berlebihan memang, tapi itulah kenyataannya."

***

Kinara menyusuri lorong-lorong kelas tanpa minat. Seolah raga tak bernyawa, dirinya yang seperti mayat hidup terus berjalan tak tentu arah. Wajahnya pucat, tubuhnya terlihat jauh lebih kurus dari sebelumnya. Tiga hari terakhir Kinara menginap di bangsal rumah sakit, yang tentunya tidak diketahui siapa-siapa Bunda Hana sekalipun.

Dia sudah melewatkan dua jam kuliah. Yang seharusnya dia kini berada di kelas pajak gadis itu memilih meninggalkan kelas, karena percuma juga dia mengikuti perkuliahan dengan pikirannya yang sedang kalut.

Langkah tanpa arahnya menuntun pada taman belakang fisip, dimana pohon trembesi yang menjadi muara kisahnya masih berdiri kokoh. Kinara memperhatikan tiap cabang dan daunnya yang bergerak-gerak tertiup angin. Andai waktu itu ia tidak bertemu Vero di tempat ini dan memulai semua kisah mereka, mungkin sekarang dia tidak akan merasa sesakit ini. Namun betapapun sering ia memikirkannya, Kinara tetap pada satu pilihan. Meski ia bisa memutar waktu, ia akan tetap memilih menjatuhkan hatinya pada pemuda itu. Sekalipun ia tahu akhirnya akan seperti apa. Karena mencintainya, Kinara tidak membutuhkan alasan apapun.

Gadis itu menghela napas berat, mengenyahkan setiap kilas balik yang berputar di ingatannya.

Dia terus melangkah hingga kakinya berhenti di lahan yang cukup jauh dari gedung-gedung kampus. Kinara meniti langkah penuh kehati-hatian pada jembatan kayu yang terbentang di atas Danau Kecil.

Sampai di seberang, gadis itu duduk di tepian danau, melepas sepatunya lalu menenggelamkan kakinya ke dalam air. Pepohonan menjulang, langit biru dan hamparan Danau memanjakan penglihatannya.

Kinara meraih tas nya, mengambil benda yang bergetar dari dalam sana.

"Apa, Ann?"

"Lo di mana, Ki?"

"Danau, gak usah ke sini. Gue lagi pengen sendiri, Ann."

Setelahnya Kinara memutuskan sambungan sepihak. Dia tidak butuh siapapun untuk saat ini, hanya dirinya sendiri yang bisa mengalahkan rasa sakitnya.

Kinara meraih beberapa kerikil yang ada di sekitarnya. Dia mulai melemparnya satu persatu hingga menghasilkan kecipak air.

Satu

Dengan suara pelan, dia menghitung pada setiap kerikil yang dilemparnya. Dan dalam setiap hitungan, keping ingatan muncul dari benaknya tanpa ia perintah.

"Bahagia dan luka berjalan beriringan. Untuk yang pertama gue berharap bisa menjadi alasan lo bahagia. Dan untuk yang kedua, gue akan selalu ada disaat lo terluka. Gue akan datang ketika lo minta, dan gue gak akan pergi ketika lo merasa sendiri."

Dua

"Lo akan selalu punya alasan untuk bertahan ki, sesulit apapun itu gue akan ada disaat lo ingin bertahan ataupun lari."

Tiga

“Gue sayang lo tanpa tapi, apapun yang terjadi rasa itu gak bakal luntur Ki. Gue udah janji
akan selalu ada buat Lo kapan dan dalam keadaan apapun."

Empat

"Jangan nangis, gue gak suka. Jangan sakit, gue mungkin gak bisa jagain lo lagi setelah ini."

Bibirnya mengatup, berhenti pada hitungan keempat, tanpa ia sadari setetes air mata luruh membasahi pipinya.

"Pembohong lo kak!"

Kinara mengeluarkan kotak obat kecil, menatapnya nanar sembari menghela napas berulang kali. Dia sudah tidak mau lagi berurusan dengan obat-obatan sialan. Dia ingin menyerah dengan semuanya, dia ingin memulai dengan obat yang ada di telapak tangannya.

Mendung (Eccedentesiast)Where stories live. Discover now