Mawar Merah & Putih (A)

59 5 6
                                    

"Menipu dunia seolah semuanya baik-baik saja, melelahkan bukan?"

***

Pagi hari, kinara sudah disibukkan dengan banyak hal meski waktu belum menyentuh angka delapan. Sejak subuh gadis itu telah berada di halaman rumah, mencabut rumput liar yang mulai tumbuh di sela-sela tanaman Mawarnya. Memindahkan beberapa tangkai bunga yang sudah kelihatan sesak di dalam pot kecil ke tempat yang baru. Menyingkirkan tanaman yang sudah mati dan sejumlah aktivitas lainnya. Selama itu, dengan segala kebungkaman dan kebisingan liar di dalam kepalanya.

Kinara memotong beberapa tangkai Mawar Putih untuk ia bawa ke suatu tempat. Sedetik kemudian ia menoleh mendengar bunyi klakson dari mobil papanya yang barusaja keluar dari garasi. Segera ia mencuci tangan dan menghampiri Papanya.

"Kamu gak ada kuliah, Nak?" Tanya Reno sesaat setelah menurunkan kaca mobilnya, mengingat ini baru hari kamis, harusnya masih menjadi hari aktif perkuliahan.

"Ah, enggak Pa. Ki lagi gak ada kelas, Dosennya minta diganti jadwal."

Bohong. Ya, itu hanyalah sebuah kebohongan.

Nyatanya jauh di dalam kamarnya, entah sudah berapa notifikasi pesan dan panggilan dari Anna yang menyuruhnya Kuliah. Pasalnya, hari ini Pak Anton mengadakan Uts dan Kinara sengaja tidak mengikuti perkuliahan.

"Yaudah, Papa berangkat kerja ya. Banyakin istirahat."

"Yeaa, Papa!" balas Kinara, sambil hormat.

"Dadahh, pulangnya jangan malem. Ki mau makan malem bareng, Papa." Teriaknya Lalu melambaikan tangan pada Mobil Reno yang mulai bergerak menjauh.

Setelah mobil hitam Papanya hilang dibalik gerbang putih rumahnya, senyum Kinara mengendur. Matanya kembali sayu, dan tubuhnya kembali mati rasa. Gadis itu menghela napas berulang kali, lalu memutuskan masuk ke rumah.

Sesampainya di kamar, Kinara menjatuhkan diri ke atas tempat tidur. Menatap hampa langit-langit kamarnya dengan perasaan sesak. Pelan, air matanya luruh tanpa suara. Kinara memejamkan mata lumayan lama, membiarkan air hangat itu mengalir bebas melalui pipinya.

"Mengapa Tuhan, Luka terlalu mendominasi hidup ini?"

Lemah, Kinara membuka matanya. ia kemudian tersenyum lebar, sengaja menyugesti dirinya untuk tidak menjadi lemah saat ini. Setiap orang pasti memiliki masalah, bukan hal baru untuk terluka bukan?

Lima belas menit setelahnya, Kinara memutuskan bangkit dari tempat tidur. Ia pergi ke bilik kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah ini ada beberapa tempat yang ingin ia kunjungi. Yang mungkin bisa memberinya sedikit rasa tenang. Untuk setidaknya ia bisa melupakan segenap rasa sakit dan takutnya, barang sesaat.

***

Pukul satu siang, Vero menepikan mobilnya di lahan parkir pemakaman. Setangkai mawar merah terselip di sebelah tangannya. Pelan, dihampirinya nisan bertuliskan "Karisha Ananta" lalu berjongkok di sisinya.

Tangan pemuda itu terulur, meletakkan setangkai bunga lalu mengelus lembut nisan batu itu.

"Apa kabar, Sha? Dulu lo bilang ke gue, dunia itu gak adil, sekarang gua baru percaya."

Suara dari pemuda itu bergetar, menandakan ada tangis yang memaksa pecah.

"Dunia gak adil, Sha. Kenapa disaat gue udah bisa nerima kenyataan. Udah bisa ngerelain kepergian lo, dan gak lagi nyalahin diri gue sendiri. Kenapa disaat gue udah nemuin orang baru, udah bisa ngobatin luka gue dengan kehadiran orang itu. Kenapa malah dia yang ngebuat gue hancur ke luka yang sama." Vero menundukkan kepalanya dalam-dalam.

"Kenapa, Sha? Kenapa harus dia?"

Vero runtuh, segala bentuk pertahanannya hancur tanpa sisa. Pemuda itu menangis terisak-isak. Tangisan yang tidak pernah dilihat oleh seorangpun kecuali, Karisha.

Langit yang semula biru mulai berubah menjadi Abu. Langit seolah mengerti betapa hancur pemuda itu, dan turut bersedih.

Hening. Tak ada suara apapun selain isak tangis pemuda itu, sampai sebuah notifikasi memecah kesunyian. Vero mengangkat kepalanya. Jelas notifikasi tersebut bukan berasal dari ponselnya. Notifikasi yang sangat ia kenal itu berasal dari orang yang sedari tadi berdiri lima meter di  belakang dirinya.

Vero menoleh, mendapati figur seorang cewek yang sedang mematung dengan wajah pucat. Sosok itu, sosok yang kini memenuhi pikirannya.

"Ma-af." Kinara mengeja dengan suara terbata-bata. Ia tidak tau lagi harus bereaksi seperti apa. Tatapan mengintimidasi Vero cukup membuatnya gentar.

"Sejak kapan lo berdiri di situ?" tanya Vero dingin.

Kinara bungkam. Ia sangat ingin menjawab, namun lidahnya kelu. Tiba-tiba saja pasokan oksigennya berkurang.

"Ngapain lo di tempat ini?"

Tetap tidak ada jawaban. Gadis itu tetap diam, seolah membatu.

"Mau minta maaf sama orang yang udah meninggal? Atau mau bilang lagi kalau lo lebih baik dari dia?"

Kinara menelan ludahnya. Sakit, rasanya sakit sekali mendengar ucapan yang keluar dari mulut pemuda itu.

"E-enggak, Kak. Gue-" Kinara menunduk, tak bisa menyelesaikan kalimatnya. Detik berikutnya kilat menyambar bersamaan gelegar yang cukup kuat, cukup membuat Kinara menutup mata dan kedua telinganya dengan gemetar.

"Tidak, Tuhan. Jangan lagi, jangan di sini, jangan saat ini. Lo gak boleh lemah, Kinara." Rapalnya dalam hati.

"Pulang kalau lo gak mau kehujanan di sini." Putus pemuda itu, berhasil membuat Kinara mengangkat Kepalanya. Tiga detik, Vero memutuskan kontak mata lalu berjalan menjauh meninggalkan Kinara.

Pemuda itu, tanpa kata, tanpa menoleh sedikitpun masuk ke dalam mobilnya, melaju dengan kecepatan sedang membelah gelapnya langit Jakarta.

To be continue..

Mendung (Eccedentesiast)Where stories live. Discover now