Hilang

81 6 5
                                    

Dalam satu detik, banyak hal yang terjadi. Cinta pada detik pertama, rindu pada suatu masa, juga luka yang membunuh jiwa. Banyak hal yang terjadi dalam hitungan detik, yang semuanya telah dituliskan semesta.

"Embunnya masih tebel banget ya, Bun."

"Karena itu, setiap pagi Bunda suka berdiri di sini. Embunnya sejuk." Senyum itu merekah pada hamparan indah di depan sana.

"Kinar jadi ikutan suka nih, Bun. Nanti kalau Aku punya anak cewek, mau aku kasih nama Embun deh."

Hana tersenyum tipis. "Nama yang bagus. Kamu tuh ya masih kecil udah mikir mau punya anak."

"Yee ... kan nanti, Bunda. Bukan sekarang," sambung gadis itu terkekeh menampilkan deretan gigi putihnya.

"Sekarang kuliah dulu yang bener, ya Nak."

"Yeaa captain! Tapi Bunda suka gak nama anaknya Ki nanti?"

Lagi-lagi sabit melengkung di sudut bibir itu, wajah teduhnya menerawang jauh. "Bunda kenal seseorang bernama Embun."

"Oh iya? Seru dong, siapa Bun?"

"Dia... Orang paling berharga dalam hidup Bunda."

"Aaaahh, beruntung banget ya dia Kinar jadi iri deh," gurau gadis itu memanyunkan bibirnya.

"Bukan ...," Jeda Hana membuat Kinara mengerutkan kening. "tapi ... Bundalah yang beruntung karena memiliki dia," sambungnya yang berakhir meraih Kinara ke dalam dekapannya.

Maaf sayang, Bunda terlambat menjelaskan semuanya. Lirih wanita itu di balkon kamarnya yang menghadap ke hamaparan pohon di sekeliling area golf.

Dibiarkannya jutaan air yang entah kapan berhenti mengalir dari kelopak matanya.

"Semesta, padamu aku berserah. Beri bahagia, setidaknya untuk dia."

Seketika dia menoleh ketika Anak lelaki itu telah sampai dihadapannya. Anak sambung yang dibesarkannya dengan penuh kasih itu menyeka air matanya dengan ibu jari, lalu menariknya ke dalam rengkuhan.

***

Sementara itu, di sebuah ruang kerjanya seorang wanita juga telah lebur dalam isak tangis. Sesak menghantam dadanya dengan sempurna, ketika informasi itu sampai ke telinganya.

"Kinar sudah tau siapa dirinya, Qya. Papa harap dia bisa kembali dari sisa kehancurannya."

Tahun demi tahun terlewati, Qya lah yang paling mengerti betapa Kinar tidak pernah benar-benar beranjak dari masa lalu. Kini ketika senyum itu telah kembali, ketika bahagia sudah di hadapan matanya, lalu mengapa kehancuran kembali datang meluluh lantakkan jiwa?

"Dimana pun kamu sekarang, Kakak yakin kamu akan kembali, jdi adik kakak yang lebih kuat," harapnya jua setelah genap sepuluh jam Kinara tidak kembali ke rumah.

***

"Eneng kenapa?"

Kinara membuka kedua matanya. Napasnya tersengal, seluruh badannya bergetar hebat. Segera gadis itu mengusap jejak air yang enggan berhenti membasahi pipinya. Dia memalingkan muka ke jendela karena sopir taksi terus memeperhatikannya dari kaca spion.

"Maaf neng, kita udah dua jam berputar di daerah sekitar. Eneng mau Bapak antar ke mana?"

"Bapak perhatikan dari tadi Neng nangis terus, kalau ada masalah diselesaikan baik-baik neng. Gak baik lari seperti ini," ujar Pak Sopir menebak keadaan gadis tersebut.

"Jalan aja Pak. Saya mau ke Bogor, bisa Bapak antar saya ke sana?"

"Baik, Neng."

Tak terhitung sudah seberapa jauh jarak yang gadis itu tempuh. Langkahnya menuntun tanpa tau arah. Beberapa kali ia naik turun taksi, bus, dan kendaraan umum lainnya.

Tanpa punya tujuan, kemana saja asal kakinya tetap melangkah. Ia tau sekuat apapun usahanya untuk meredakan kemelut dihatinya, tetap saja sia-sia. Malam telah larut namun ia tidak peduli, entah kemana rasa takut itu menghilang, mungkin telah tertupi oleh sakit yang mematikan. Gadis itu tetap saja melangkah, karena satu-satunya yang ia butuhkan sekarang sebuah pelarian.

Tak hanya orang tuanya, namun juga teman-temannya kini mengkhawatirkan Kinara. Sudah lebih lima belas jam gadis itu menghilang tanpa jejak. Entah sudah berapa jauh, dan apa yang telah dilakukannya saat ini. Tentang bagaimana keadaannya saat ini, apa ia beristirahat dengan baik tadi malam, atau seberapa takut dan hancur gadis itu sekarang, sampai pada kemungkinan terburuk bahwa telah terjadi sesuatu buruk pada putrinya. Susul menyusul kemungkinan itu menghantam pikiran Reno.

Di rumahnya, empat orang pemuda dan seorang gadis itu tidak beranjak dari semalam. Berkumpul di ruang keluarganya. Entah mereka sempat tidur atau tidak tadi malam.

"Kalian pulang saja, biar Om yang berusaha cari Kinara. Kalian butuh istirahat."

Baik Vero, Anna, Dimas, Reyhan maupun Galang tidak ada yang bereaksi. Mereka akan tetap pada keteguhannya, mencari Kinara bagaimanapun caranya.

"Om Reno benar. Kita gak bisa terus-terusan di sini. Gue harus pergi cari Kinara," timpal Vero akhirnya membuat semua mata memandang ke arahnya.

"Dimas sebaiknya Lo pulang, Bunda juga ngebutuhin Lo saat ini. Jangan lupa antar Anna ke Apartmentnya, dia butuh istirahat."

"Gue gak papa-"

"Gue tau lo gak tidur tadi malam, Lo butuh istirahat Na," interupsi Dimas.

Meski sempat menggeleng, akhirnya Anna menurut. Tidak ada gunanya juga mereka terus berdiam diri di tempat ini. Dia harus kembali mengingat kemungkinan Kinara akan ke Apartemennya.

"Gue sama Reyhan akan cari sekitaran kampus juga tempat-tempat yang mungkin Kinar datangi," usul Galang berikutnya.

Kelima orang itu beranjak setelah berpamitan pada Reno dan yang lainnya.

To be continue! Voment lah masa enggak:')

See you papai

Terkhusus fiyanichi  Thank you buat covernya yang comel parah ^^

Mendung (Eccedentesiast)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang