Hancur

79 8 3
                                    

"Bukankah sudah kubilang, semesta memang suka bercanda."

****

Brak!!

Bi Iim tersentak mendengar suara pintu yang dibanting kuat.

"Ada apa non?" tanya Bi Iim gugup.

Kinar tidak menjawab, hanya menangis dengan mata yang sudah sembab.

"Non ... Non Kinar teh kenapa?" Gadis itu tetap bungkam. Ia mempercepat langkah menuju ruang keluarga yang ketika tiba di sana Reno dan Alan sedang berada di ruangan itu.

"Ki.. kinar kamu kenapa Nak?" Lagi-lagi Kinar hanya menangis.

Dengan gerakan cepat Kinara mengangkat karpet lalu mengambil sesuatu dari bawah sana, sebuah amplop berwarna coklat dengan logo Advokat.

Tanpa bisa mengatakan apa-apa, baik Reno, maupun Alan hanya bisa menatap cemas.

Kinara menumpahkan isi amplop tersebut ke lantai. Dengan tangan yang gemetar ia meneliti isi Amplop tersebut. Ada dua lembar foto berisi seorang gadis kecil. Sosok anak yang ia lihat pada jurnal Hana. Dengan deraian yang enggan berjeda dari matanya, Kinara mengacak isi amplop yang sudah berhamburan di lantai untuk mencari petunjuk lainnya.

Kinara tersekat kala mengenali identitas orang tuanya pada kartu keluarga, surat adopsi, koran lusuh, serta dokumen kematian atas nama

Arya Pangestu.

Tidak... Tidak mungkin kebetulan bisa selucu ini. Mustahil semesta mampu sebercanda ini.

Raihana Wiranty

Nama dan wajah itu seketika memenuhi ruang kepala Kinara. Sosok itu menjadi sangat familiar. Tiba-tiba ingatannya terhantam pada sosok wanita yang ia temui bertahun-tahun silam. Wanita dengan pakaian rumah sakit yang mengejarnya di jalanan komplek. Wanita yang memberinya boneka kelinci di ulang tahun keenamnya. Samar-samar bayang itu terus berputar hingga sempurna hilang setelah ingatan terakhir lima tahun silam, ketika wanita itu menemui Ayahnya.

"Nggak!!" Teriak Kinar kencang.

"Enggak mungkin ... Ini salah kan Tuhan?" Ratapnya kemudian dengan kegetiran.

Di samping Gadis itu Reno terhenyak. Ini akan menjadi akhir kebenaran yang mereka sembunyikan.

"Ini salah kan Pa?" tanyanya di sela isakan. Reno terdiam. Napasnya seketika sesak melihat kehancuran Putrinya. Bukan... Bukan kebenaran seperti ini yang ingin ia tunjukkan.

"Kenapa? Kenapa harus dia? Kenapa harus dia jadi wanita yang ninggalin Alea, kenapa harus dia...." Kinara tidak sanggup melanjutkan kalimatnya. Dengan sisa tenaga ia bangkit, dipeganginya foto dan kartu identitas orang tua kandungnya.

"Itu semua benar, lo anak dari wanita di foto itu. Wanita yang selama ini lo jadikan alasan untuk membenci Papa! Wanita yang lo pikir wanita simpanan Papa itu adalah Ibu kandung yang udah buang Lo dua belas tahun lalu," ungkap Alan.

Seketika itu juga Kinar menjatuhkan benda tersebut dari genggamannya. Tubuhnya bergetar hebat, seolah dunia telah hancur di atasnya.

"Puas kan lo? Udah bunuh Mama, dan nuduh Papa selingkuh?!"

"Lo gak bisa menolak kenyataan Kinara. Itu kebenaran yang selama ini lo cari. Harusnya lo puas bukan malah jadi lemah kaya gini." Sarkas Alan. Namun siapa sangka, dibalik nada dingin itu sebenarnya tersirat kecemasan yang pekat.

Lutut Kinara semakin lemas hingga tak mampu menopang berat tubuhnya. Kinar ambruk ke lantai, terduduk lalu menangis sejadi-jadinya. Ia memukul dadanya berusaha membuang sesak yang bersarang di sana. Dipandanginya lagi lembaran potret di depannya. Seketika foto wanita berwajah malaikat itu menjadi mengerikan. Kinara meremas gambar dua dimensi itu, merobeknya hingga hancur tak bersisa.

Kenapa? Kenapa harus dia, wanita yang tega meninggalkannya? Kenapa wanita itu tega membuangnya? Kenapa semua orang harus meninggalkan dirinya? Kenapa Tuhan... Takdir sebegini jahatnya.

"Lea bukan Pembunuh, Bang," lirihnya di tengah sesak yang kian menghimpit dadanya.

Gadis itu terus berucap lemah seraya menggelengkan kepalanya, membuat keadaan semakin hening dan memilukan.

"Aku bukan pembunuh."

Dengan tenaga yang tersisa, Kinara bangkit dari duduknya. Tertatih, gadis itu berjalan menuju pintu keluar kediamannya.

Reno menggeleng lemah ketika Bi Iim mencoba menahan Kinara. Putrinya itu sudah besar. Ia sudah lebih kuat dari dirinya tujuh Tahun silam. Bukan lagi putrinya yang akan mengurung diri dan melukai dirinya sendiri, Reno percaya akan hal itu. Setidaknya keyakinan satu ini mungkin akan diaminkan semesta. Pria paruh baya itu terduduk tanpa daya setelahnya.

Sementara Bi Iim hanya memalingkan muka tak kuasa ketika Kinara melewatinya, bak mayat hidup yang berjalan tanpa arah.

"You are strong, Kinara. Kamu udah terbiasa menerima ribuan duka, Abang harap kamu udah siap untuk bangkit dari luka ini."

Dalam diam, 'semoga' itu dirapalkan dibalik tatapan tajam dan kepalan tangan seorang pemuda.

Mendung (Eccedentesiast)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang