Such A Lovely Place

916 129 37
                                    


Story 6

اوووه! هذه الصورة لا تتبع إرشادات المحتوى الخاصة بنا. لمتابعة النشر، يرجى إزالتها أو تحميل صورة أخرى.

Story 6

Hujan semakin deras. Orang-orang yang awalnya ada di luar, segera menghambur menuju lobby. Terdengar suara gemuruh. Kilat menyambar.

Tidak ada yang bisa dilakukan selain beristirahat. Tim memutuskan menyebar, menuju kamar masing-masing. Isa bahkan punya ruangan sendiri. Hibta si paling murah hati.

Isa menyusuri selasar sayap kanan. Di depannya ada Jessie dan Pobita. Keduanya membahas buruknya cuaca.

"Wuih, untung kita udah mendarat, ya." Celetuk Pobita sambil bergidik.

"Ho'oh. Nggak tahu, deh, kalau pesawat siang. Sekarang pasti masih muter-muter di atas." Balas Jessie.

"Waduh, bakal trauma aku."

"Kok jadi ngeri, ya, kesannya alam nggak mau menyambut kita."

"Iya, Hujan itu lambang kesedihan, kan?"

"Nasib buruk."

Di belakang, Isa tertawa dalam hati. Eksistensimu di dunia ini tidak ada hubungannya dengan siklus hujan yang sudah berlangsung jutaan tahun.

But, well, technically, jika kamu menebang hutan, banjir akan datang. So, be wise.

Isa tiba di kamarnya. Menempelkan kartu, memutar gagang pintu.

Isa disambut ruangan yang cemerlang. Jendelanya lebar, perabotannya cukup lengkap. Ada kursi dan meja kecil. Cermin juga.

Isa meletakkan tas dan koper di belakang pintu, dan langsung menghempaskan diri ke tempat tidur. Empuk. Hujan masih deras. Tidak masalah. Momen yang tepat untuk memejamkan mata. Isa jadi teringat film Interstellar.

Isa berbaring sambil tersenyum. Nah. Keisengan berbuah manis. Sekarang fokus pada pantai dan sarapan jus jeruk. Ingat, kamu membawa laptop bukan untuk diteror Pak Juarta. Tenangkan pikiranmu, berbaur dengan orang-orang sosialita itu. Semua pasti baik-baik saja.

Pelan-pelan, semua memudar, lalu menjadi gelap.

***

Isa mencoba membuka mata. Masih berat. Semua masih samar-samar. Isa mencoba lagi. Meskipun sulit, Isa mulai mengerjap-ngerjapkan mata.

Isa menatap langit-langit yang kosong. Jam berapa sekarang? Isa meluruskan badan sejenak. Lalu pelan-pelan bangkit.

Dengan gontai Isa mendekati cermin. Cukup berantakan. Selanjutnya dia melirik ke arah jam dinding. Isa tertegun. Dia cukup yakin jarum jam menunjuk angka lima lewat empat puluh delapan menit.

Apa?

Isa mendadak panik. Dia segera melompat keluar kamar. Isa lantas menghampiri kamar Jessie. Mengetuk beberapa kali. Tidak ada jawaban. Pun kamar Pobita. Isa jadi gelisah.

Isa berinisiatif menuju kamar Hibta. Langkahnya cepat─padahal dia baru saja terjaga─tanpa memperhatikan situasi, dan apes, bahunya menyenggol tamu lain. Isa terjungkal kecil. Dan ponselnya terjatuh di lantai.

"Ah, maaf." Ujar tamu itu. Seorang pria muda. Isa segera memungut ponsel miliknya.

"Anda tidak apa-apa?" Tanya pria itu.

Isa hanya menangkupkan kedua tangannya, meminta maaf juga. Pria itu mengangguk pelan.

Isa segera beranjak. Dan mendadak dia menepuk jidak. Apa gunanya ponsel?

Isa membuka ponsel, membuka kolom chat. Ada pesan Hibta di sana. Sudah kuduga.

"Isa, kamu masih tidur? Kutelepon tidak aktif. Pintu kuketuk, tidak ada jawaban. Mungkin kamu kecapean. Okelah. Tapi kalau kamu bangun, segera ke lokasi ini, ya." Demikian voice note dari Hibta.

Di bawah pesan suara, ada koordinat peta. Isa segera mengaksesnya. Pantai Soumba. Mereka langsung beraksi?

Lokasi pantai itu tidak terlalu jauh. Tanpa pikir panjang Isa langsung berangkat. Tanpa mandi dan berdandan. Toh sebentar lagi malam tiba. Dan dia benar-benar terlambat.

Isa menyusuri jalur paving block, melewati taman kecil, dan setelah melalui semak belukar, di depan sana tampak langit merah menjelang senja, dihiasi siluet pohon kelapa yang rimbun.

Dan Isa pun sampai. Di depan matanya, hamparan pasir membentang lapang. Hibta dan yang lain ada di sana. Hibta berseru melihat kedatangan isa. Jessie menarik lengan Isa, sembari meminta Isa melepas alas kaki.

Isa menurut saja. Kini dia merasakan butiran pasir halus menghentak telapak kakinya. Hibta menyambut Isa dengan tawa, menggodanya karena terlambat bangun.

"Hei. Hampir saja. Matahari sedang bagus-bagusnya."

Isa hanya diam. Hibta benar. Matahari mulai menghilang di ufuk barat. Menyisakan semburat warna merah jingga bersama awan yang bersusun-susun. Tenang sekali. Selalu begitu saat badai berlalu.

Isa lupa kapan terakhir melihat horizon sejelas ini. Debur ombak terdengar lembut, ritmenya menyenangkan. Matahari terbenam adalah momen magis, yang memisahkan kehidupan siang yang sibuk dan malam yang damai.

Isa memejamkan mata sejenak. Nuansa petrikor laut terasa jauh berbeda. Asin sekaligus manis.

Matahari tenggelam sepenuhnya. Lampu obor dinyalakan. Riak apinya menari-nari diayun angin laut. Mundo menancapkan bambu penyangga obor ke pasir kuat-kuat. Dan Agha mulai memetik gitar, memainkan melodi akustik dengan mantap. Isa tersenyum tipis. Dia kenal intro yang khas itu.

Welcome to the Hotel California

Such a lovely place

Such al lovely face

Semua orang bernyanyi. Riang gembira. Bersimpuh di atas pasir, dikelilingi penerangan obor. Malam baru saja mulai.

Urita : Isa & Samudra Bijaksanaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن