Silent

1.4K 138 18
                                    

Story 3

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.

Story 3

Wah.

Mata Isa membulat. Dua puluh follower dalam satu hari. Tidak biasanya.

Tiga hari berlalu, tiba-tiba saja profil Instagram Isa 'diserang' orang-orang tidak dikenal. Mengajukkan permintaan mengikuti. Dan lihat sekarang ..., 1.221 followers! Hei! Apa sudah saatnya berhenti jadi badut korporat, dan mulai meniti karir jadi pemengaruh?

Bullshit. Batin Isa. Jangan terpedaya popularitas, Kak. Pekerjaanmu sekarang adalah yang paling realistis. Itu semua, prospek cerah sebagai influencer, youtuber, bla, bla, bla, meraup keuntungan dari monetisasi dan endorse, adalah pengejawantahan murni dari maksud jahat kapitalisme yang konsumtif dan manipulatif.

Semua tidak seperti kelihatannya. Saling tikam dari belakang, pemaksaan kehendak, hipokrasi, prank konyol, eksploitasi, memalsukan moral, adalah rahasia gelap yang tidak berani diungkapkan. Yang berani buka-bukaan, ya, hanya aplikasi 'kipas angin'.

Hei, no offense. Sesuatu yang terdengar terlalu bagus untuk menjadi nyata patut dicurigai. Semua profesi punya risiko.

So, take it easy.

Tentu Isa tahu penyebab semua kehebohan ini. Selebgram Hibta Nour. Meng-endorse Isa secara tidak langsung. Padahal Isa tidak mengikutinya. Ya biarlah. Dunia maya sebatas dunia maya. Tidak ada pengaruhnya, kan. Deadline masih menumpuk. Oh, shi ..., al.

Keluhan benak Isa mendadak buyar karena Helda, si anak tim accounting.

"Iz, kami duluan, ya, mau ke musala dulu." Ujar Helda dan anak-anak lain.

Isa mengangguk santai, bibirnya memainkan paper straw jus stroberi yang tandas dari tadi.

Isa menyaksikan punggung Helda dan anak-anak menghilang di balik entrance kantin.

Yang menyenangkan dari Helda adalah, ia tidak suka mengutarkan pertanyaan yang mengancam privasi, misalnya,

"Kamu sudah salat?"

"Lembur di divisimu dapat berapa biasa?"

"Cowoknya mana?"

Bagi Isa, semua itu menjemukan. Khususnya pertanyaan pertama. Apalagi diikuti pertanyaan lain, "Kok tidak salat?"

Ayolah. That's ridiculolus. Bagaimana bisa hal sepribadi itu? Rakyat Indonesia suka sekali menembus batas.

Dan kalau masih ada yang ngeyel, bertanya ini itu, mungkin Isa akan menjawab dengan jujur.

Untuk ritual keagamaan, salat itu, Isa sudah tidak melakukannya sejak lama. Sudah lama sekali. Sejak ibunya meninggal.

Ayolah. Ini bukan tentang mental issue. Tapi lebih, pada titik ini, Isa menjadi tipe yang, i'm cool with that. Menjadi pribadi yang lebih dewasa, melakukan sesuatu karena kesadaran sendiri. Isa tidak ingin terjebak dogma, melakukan sesuatu karena kebanyakan orang melakukannya.

Urita : Isa & Samudra BijaksanaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant