Something

47 10 2
                                    

Story 16

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Story 16

Sahabi benar-benar muntab,

"Kalian anak muda memang benar-benar keras kepala! Tidak mau diatur!" Teriaknya.

"Apa susahnya menurut saja?? Sekarang lihat akibatnya! Apapun yang terjadi, saya tidak mau tanggung jawab!" Sahabi masih terus menumpahkan kekesalannya.

Hibta tidak bisa berkata apa-apa. Pada posisi ini dia benar-benar salah. Semua omelan Sahabi diterimanya tanpa sanggahan. Pada akhirnya Isa mengaku, bahwa mereka memasuki area terlarang.

"Badwi bilang temanmu itu baik-baik saja, tapi kenyataannya tidak sama sekali! Badwi hanya sekadar menenangkan, begitulah dokter. Temanmu itu bisa saja meninggal!! Satu pasien di rumah sakit sudah dikuburkan kemarin." Sahabi semakin meradang. Lalu pelan-pelan raut mukanya berubah menjadi lunak. Sepertinya dia tersadar bahwa dia terlalu terbawa emosi.

Sahabi berhenti bersuara. Dengan deru napas yang masih terkesan jengkel, Sahabi lantas berbalik pergi,

"Semoga laki-laki gondrong itu bisa pulih." Sahabi berjalan sambil bergumam, "Jadi kalian bisa pulang lebih cepat." Sambungnya.

Sahabi menghilang dari pandangan. Menyisakan Hibta dan Isa yang berdiri mematung dan membisu. Gen ada di depan mereka. Ekpresi wajahnya terlihat tidak nyaman. Secara tidak langsung dia kecipratan omelan Sahabi.

Isa mengginggit bibir. Hibta tampak kesal dimarahi, tapi dia memang tersangka dalam kasus ini.

Jadi, Pak Sahabi tahu apa yang menyerang Agha? Itu yang ada di pikiran Isa saat ini.

"Area itu tidak ada hubungannya dengan apa yang menimpa Agha." Seperti bisa membaca pikiran Isa, Gen angkat bicara.

"Tisasi sebenarnya wilayah konservasi yang disepakati konsesus adat. Tujuannya, optimalisasi repopulasi ikan. Tidak ada biota laut berbahaya di sana. Secara teknis. Pak Sahabi hanya terbawa emosi. Dia sendiri tidak punya petunjuk." Lanjut Gen lagi.

Isa mengangguk paham.

"Tapi tetap saja, kejadian hari ini cukup mengganggu pikiranku. Karena ternyata, beberapa masyarakat sudah menjadi korban. Aku benar-benar kecele." Wajah Gen terlihat muram.

"Apa kau punya perkiraan? Maksudku, jenis hewan yang terindikasi menyebabkan semua insiden itu." Isa bersuara.

Gen menggeleng, "Untuk saat ini, belum. Dotker Badwi sempat menyebut gurita cincin biru dan ular laut. Tapi melihat gejala dan jumlah korban, aku jadi ragu."

Isa tampak berpikir. Apa yang dilihatnya memang benar-benar sulit dijelaskan.

"Hei, kau kan ada di tempat kejadian. Apa kau melihat sesuatu?" Gen bertanya. Isa cukup terkejut. Sekali lagi Gen seperti membaca pikirannya.

"Entahlah," Isa menggeleng lemah, "Aku sendiri tidak terlalu yakin."

"Ciri-ciri?" Gen lanjut bertanya.

"Tidak jelas." Respon Isa ragu, "Aku seperti melihat sesuatu, berwarna hitam pekat. Seperti bayangan. Mungkin bayangan ikan, entahlah, tapi ..., sangat besar. Seakan-akan laut menjadi hitam." Isa mengutarakan apa yang benar-benar dilihatnya.

"Kamu yakin melihatnya?" Hibta bertanya dengan ekspresi wajah terkejut.

"Itu masalahnya." Jawab Isa, "Semuanya begitu cepat. Tahu-tahu sesuatu itu hilang. Laut jadi biru kembali. Makanya aku berpikir, mungkin aku salah paham. Bisa saja itu hanya mendung."

Gen tampak berpikir, "Apa menurutmu pari manta?" tanyanya.

Isa menggeleng, "Bayangan itu sangat besar, aku pernah melihat ikan pari sebelumnya."

Gen masih terlihat berpikir, "Pada akhirnya kita hanya bisa menduga-duga. Baiknya kita menanyai beberapa pasien di rumah sakit. Mereka korban sekaligus saksi. Barangkali mereka punya deskripsi yang lebih masuk akal, ah, maaf, maksudku, lengkap." Papar Gen.

"Aku setuju." Jawab Isa. Melihat kondisi saat ini, mitigasi memang sangat dibutuhkan.

"Jika kau tidak keberatan, aku ingin mengajakmu ke rumah sakit. Untuk mencocokkan deskripsi. Bagaimana?" Gen menawarkan.

Isa mengangguk, "Boleh."

"Emm, aku tetap di sini. Menjaga Agha." Hibta angkat suara.

"Ya. Aku sangat setuju." Komentar Gen.

Isa dan Gen segera beranjak. Mengendarai mobil ekspedisi milik TEV, keduanya bertolak menuju rumah sakit.

***

Tidak lama kemudian mereka tiba di rumah sakit. Seorang perawat menunjukkan ruangan khusus penanganan gangguan kulit.

Sesampainya di ruangan tersebut, Isa dan Gen menemui petugas jaga. Menjelaskan maksud kedatangan mereka. Petugas jaga paham. Sedikit banyak dia tahu tentang TEV.

"Saya ingin membantu. Tapi kondisi pasien sedang tidak kondusif. Beberapa dari mereka sedang tertidur. Mengingat beberapa hari ini, kondisi mereka cukup memprihatinkan." Kata Petugas Jaga.

"Apa ada yang kronis?" Isa bertanya.

"Ya. Awalnya gejala gatal ringan. Diringi rasa terbakar yang menyiksa. Setelah itu demam tinggi. Beberapa mengalami mual dan sesak napas. Cukup parah. Kami tidak mengerti." Petugas Jaga menjelaskan.

Gen meringis gelisah, "Mungkin Agha perlu dirawat di rumah sakit ...," Gumamnya.

"Apa ada pasien sembuh?" Isa kembali mengajukan pertanyaan.

"Ada. Satu orang. Dia sudah kembali tadi pagi." Petugas Jaga menjawab.

Gen tertegun. Itu dia. Gen lantas menanyakan alamat pasien rawat jalan itu. Petugas Jaga kembali menjelaskan.

"Baiklah, kita ke sana." Ujar Gen setelah memperoleh alamat. Isa mengangguk sepakat.

Baru saja keduanya hendak berangkat, nada panggilan masuk berdering di ponsel Gen. Gen menatap layar ponsel dengan wajah penasaran. Gen segera menjawab panggilan.

"Halo?" Gen merespon suara di seberang, "Ya ..., saya sedang di rumah sakit. Oh, Pak Sahabi? Oh, benarkah? Baik ..., kami kembali ke situ segera ..., oh, baik, kami menunggu .... "

Panggilan berakhir. Gen menatap layar ponsel dengan pandangan serius.

"Ada apa?" Isa penasaran.

"Mister Dippet. Beliau bilang, Pak Sahabi datang ke markas bersama seseorang yang mengaku melihat sesuatu. Dan sepertinya, deskripsinya mirip dengan penjelasanmu. Mereka sedang menuju ke sini."

"Oh." Gumam Isa singkat. Berita baik. Paling tidak kesaksiannya bisa dianggap masuk akal.

Urita : Isa & Samudra BijaksanaWhere stories live. Discover now