Menuju Utara

43 11 6
                                    

Story 14

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Story 14

Selesai sarapan, Hibta tetiba menghampiri Isa yang sedang bersantai membaca buku Kehidupan Laut di sofa.

"Ikut aku, yuk." Ujar Hibta sambil menepuk pundak Isa.

Isa menoleh polos. Lalu mengerutkan kening. Ke mana?

Baru saja Isa hendak bertanya, Hibta sudah melangkah pergi. Isa buru-buru bangkit. Menyusul Hibta. Ingat, Hibta pemegang kendali di sini. Siapa yang akan membiayai tiket pulang nanti?

Hibta keluar dari bungalow. Isa mengikuti. Sambil celingak-celingkuk, Hibta berjalan cepat menyusuri jalan menurun.

"Isa, ke sini!" Hibta memekik sekaligus berbisik. Isa mempercepat langkah. Hibta akhirnya tersusul, dia tepat di depan Isa.

"Cepat, sebelum ada yang melihat!" Tingkah Hibta seperti anak-anak, yang mengendap-ngendap keluar dari pengawasan orangtua.

"Kita mau ke mana?" Isa jadi penasaran.

"Keluar. Aku bosan di penginapan terus. Suntuk mengikuti schedule dari bapak-bapak itu." Jawab Hibta santai.

Keduanya terus berjalan. Awalnya Isa menyangka Hibta akan menuju pantai. Tapi dia keliru. Ternyata Hibta menyasar arah dermaga kayu. Hibta terus berjalan. Isa mengekor di belakang.

Keduanya tiba dan langsung menyusuri dermaga. Suasana lengang. Speed boat tampak di ujung dermaga. Hibta mendekati speed boat. Seseorang lantas keluar dari boat. Isa tertegun. Orang itu adalah Agha.

Hibta melompat ke boat. Sesaat dia memekik panik. Dengan satu gerakan refleks, Agha menjemput lompatan Hibta, langsung memeluk gadis itu. Dan Hibta tidak ragu meletakkan tangannya di kedua bahu Agha. Lalu keduanya tertawa riang.

Isa mengalihkan pandangan. Mau berapa kali pun, Isa masih belum terbiasa menyaksikan adegan semacam itu secara langsung.

Kabar baiknya, Hibta dan Agha telah resmi berdamai.

"Hei, Isa. Naiklah." Hibta berteriak kecil.

Isa menurut. Dia melompat secara mandiri. Hibta dan Agha masih saling berpegangan tangan.

"Oke, saatnya berangkat." Ujar Hibta kemudian, setelah Agha menuju anjungan.

Mesin boat menderu. Kapal kecil tapi cepat itu mulai bergerak, menyusuri lautan. Agha bertindak sebagai juru kemudi. Baguslah. Tidak ada adegan bermesraan di haluan.

Speed boat melaju. Lautan terbentang di depan dan kiri, pulau di sebelah kanan. Matahari pagi mulai meninggi. Waktu yang tepat untuk berjemur.

Isa duduk sendirian di haluan. Ternyata Hibta memilih mendekam di anjungan bersama Agha. Terkurung dalam penjara cinta. Bukan main. Isa menyesali pemikiran awalnya yang begitu naif. Asas praduga memang tidak berguna.

Urita : Isa & Samudra BijaksanaWhere stories live. Discover now