Jika napas ini habis • 10

6K 460 28
                                    

[

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

[...]

      Hari semakin terik, sang surya semakin menerangi luasnya semesta, angin yang berhembus—mengayunkan beberapa dahan dan ranting yang menggantung di pepohonan.

     Gemuruh—ricuh serta langkah kaki yang saling bertemu, mengaung se-antero sekolah. Jam masih saja setia berdetak tanpa henti, seakan menorehkan sebuah suasana sunyi yang mengitari ruangan.

     Hero—lelaki keturunan Sunda itu masih terdiam di tempat duduknya—tepat di sisi kanan brankar UKS. Netranya tanpa henti menatap lelaki di hadapannya yang sampai detik ini belum juga membuka mata—sekedar menyapanya.

     Di hitung-hitung hampir tiga setengah jam Mahesa terkulai tak bertenaga di atas brankar UKS. Kekhawatiran yang mendera Hero tampak semakin besar, ia hanya takut jika saja hal-hal yang tak ia inginkan akan terjadi dengan tiba-tiba—selain hanya bisa berdoa kepada Sang Maha Kuasa.

     Hero men-dial sebuah nomor yang tertera di kontak ponselnya. menggerakkan jarinya—mengirim sebuah pesan singkat.

📨New Message
Ros, Mahesa belum bangun. Lo masih di sana, kan? Kalau iya, bawain tas gua sama tas Mahesa ke Uks.

     Peluh di dahi Mahesa tampak menetes, kernyitan yang tampak dalam begitu terlihat jelas, rintisan lirih keluar dari bibir Mahesa.

     Jantung Hero terpacu kala melihat keanehan yang terjadi pada sahabatnya itu. Selama bertahun-tahun lamanya ia mengenal Mahesa—baru kali ini Hero melihat Mahesa jatuh sakit dan sepertinya mimpi buruk.

"Ro nih gu—

     Entah Hero memang tidak mendengar teriakan serta kehadiran faros atau ia memang mengacuhkan lelaki jangkung itu. Hati Hero tak tenang, pasalnya Mahesa masih mengernyit dalam dan pelupuh semakin menetes.

"Hesa kenapa, sih? Dia kayaknya ngimpi ... bangunin bego!" Faros melempar tas yang di pundaknya ke segala arah, ia ikut khawatir dan terkejut kala Mahesa di banjiri peluh dan wajahnya yang semakin pias.

"Sa, bangun, hey ... Mahesa! Sa bangun!" berkali-kali sudah Faros membangunkan  Mahesa dengan menepuk pipi lelaki itu, namun seperti yang terlihat saat ini—Mahesa tak kunjung mendengar suaranya dan merasakan pukulan pelan di pipinya.

"Mahesa bangun!"

     Pertama kali yang terekam dalam netranya adalah—atap dinding ber cat putih bersih, bau obat yang menyeruak masuk ke dalam hidung, rasa sesak dan pening yang semakin menghujam—dan kehadiran kedua sahabatnya yang menatapnya penuh raut ke-khawatiran.

Jika Napas Ini Habis [END] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang