Jika napas ini habis • 1

27.6K 1K 35
                                    

[

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

[...]

     Mahen Guinandra, baginya hidupnya terlalu monoton. Pergi ke sekolah, pulang sekolah, tugas, latihan futsal, membaca beberapa buku dan ... rumah sakit. Tempat di mana sudah menjadi rutinitas baginya.

     Kejadian beberapa tahun lalu membuat Mahen hampir frustasi dan bahkan sampai tingkat depresi.

     Kejadian yang membuatnya hampir lupa apa itu makna sebuah kehidupan dan apa itu makna sebuah keluarga dan kebersamaan.

     Hari-hari yang ia jalani terasa membosankan, Mahen hidup layaknya sebuah angin yang berembus kesana-kemari tak tentu arah.

     Namun di balik semua kebosanan hidup yang ia rasakan, ia masih memiliki beberapa orang yang setidaknya masih bisa membuatnya tersenyum dan bahagia. Mereka berarti bagi Mahen.

     Mahesa Guinandra, tipe lelaki yang humoris, bebas dan terbuka. Jika Mahen lebih memilih terlalu serius dalam menjalani hidup, maka Mahesa lebih memilih santai dalam menjalani hidup.

     Waktu adalah uang, setidaknya itulah sedikit presepsi arti kehidupan bagi Mahesa. Si kembar yang keluar beberapa menit setelah Mahen.

     Banyak hal yang ingin Mahesa tunjukkan pada dunia, dari hal kecil hingga hal yang menuju kata besar. Dari mereka lahir, Mahesa mengerti jika fisik Mahen lebih tidak memungkinkan dari fisiknya.

     Mahen jauh lebih mengenal rumah sakit dari pada dirinya. Hingga Mahesa selalu menunjukkan pada dunia kalau ia yang akan menjadi pawang bagi Mahen - kapanpun dan dimanapun.

      "Mahesa, Mahen! Turun, sarapan!"

     Pagi sudah datang, terik matahari sudah menjulang dan cicitan burung berkali-kali bersiul menyapa suasana indah di pemukiman kota.

      Rumah dengan dua lantai itu terlihat sederhana, tidak mewah dan tidak elegan tapi selalu di bumbui dengan kehangatan, kebersamaan hingga kebahagiaan.

     Seperti di pagi ini, wanita cantik itu sudah di sibukkan dengan kesehariannya sebagai Ibu rumah tangga. Menyiapkan keperluan sang suami dan kedua anak kembarnya. Sederhana memang, tapi sangat bahagia.

      "Kapan mereka ngak telat bangun? Kelakuan kamu dulu kan kaya gitu, kebo."

      Lelaki yang sudah rapi dengan setelan jas hitam serta sebuah kaca mata yang setia bertengger di hidung mancungnya itu mulai berceletuk. Pandangannya tak beralih dari koran yang ia baca, namun pembicaraannya juga masih bisa fokus pada istri cantiknya.

      Merasa tersindir, Alya mendengus kesal.

       "Kok aku, sih, Mas? Kamu, tuh yang kebo ... ngak inget dulu selalu talat jemput aku di sekolah?" Alya membela diri dari sang suami.

Jika Napas Ini Habis [END] ✔Where stories live. Discover now