Jika napas ini habis • 2

14.1K 819 29
                                    

[

Ups! Tento obrázek porušuje naše pokyny k obsahu. Před publikováním ho, prosím, buď odstraň, nebo nahraď jiným.

[...]

     Baru beberapa bulan kemarin Mahen dan Mahesa menduduki kelas 12 dalam jenjang Sekolah Menengah Atas. Sedari mereka kecil, kedua orangtua mereka tidak pernah sekalipun melepas Mahen dan Mahesa.

     Dari sekolah playgroup hingga SMA, mereka selalu bersama entah dalam suka ataupun duka. Mahen dan Mahesa itu dua orang yang berbanding jauh, bahkan Mahesa-lah yang lebih terlihat Kakak ketimbang Mahen.

     Yah, setiap orang bebas ber-opini bukan? Seperti di pagi ini, pagi yang sama dengan pagi-pagi sebelumnya. Berangkat dengan dua kendaran berbeda, masuk ke dalam kelas pun juga berbeda.

"Sekali lagi, gua kasih renggang waktu dua hari, dan lo kudu bayar utang-utang lo!"

"Ja-ja-jangan dua hari, Bang ... gua ngak ada uang."

"Bodo anjing! Bukk!" lelaki berseragam itu melayangkan pukulan tepat di rahang sang lawan bicara, hingga membuat lelaki itu terhuyung dan jatuh.

      Hal yang Mahen dengar saat pertama kali turun dari kendaraannya, sebuah teriakan lantang yang disertai kekerasan. Hingga sudut pandang Mahen segera tertuju pada parkiran kosong di ujung lapangan.

     Tiga gerombolan lelaki dengan pakaian acak-acakan bak preman dan satu orang lelaki berkacamata tebal. Mahen menghela napas, kapan dunia ini bebas dari bullying? Kakinya bergerak menghampiri gerombolan itu.

"Woy, mau kemana?!" teriakan lantang Mahesa bagaikan sebuah angin lalu bagi Mahen. Mahen terus berjalan, tatapannya datar namun mampu menusuk setiap pandangan. Dan satu hal yang harus diingat, senakal-nakalnya dia - Mahen paling tidak suka menyeleseikan masalah dengan kekerasan.

     Baginya orang yang menyeleseikan masalah dengan kekerasan, hanya orang yang tidak ber-otak dan pengecut. Kecuali jika orang itu yang memancing emosi Mahen melewati batas.

"Cowok gentle itu nyelesein masalah pake otak, bukan kekerasan. Bangun." Mahen membantu lelaki berkacamata itu berdiri.

     Dan dengan ketakutan yang semakin menjadi-jadi, lelaki berkacamata itu bergerak mundur - bersembunyi di balik bahu lebar Mahen. Sedangkan yang di ajak bicara, malah tersenyum remeh sembari meludah kesamping.

"Lo, anak kelas sebelah? Berani amat nantang kelas kita, hah?!"

     Dia adalah Axel, dan usut punya usut jika orangtua Axel adalah bagian dari donasi terbesar di sekolah. Kelakuan Axel yang urakan, sangat meresahkan warga sekolah. Namun, hingga saat ini tidak ada satupun siswa yang berani berhadapan dengan lelaki yang dijuluki preman sekolah itu.

     Semua orang akan langsung berpikir jika Mahen berniat mengakhiri hidupnya dengan berurusan dengan Axel

     Axel maju satu langkah lebih dekat dengan Mahen, lelaki berkulit sawo matang itu tak segan-segan menarik kerah baju Mahen. Tatapan Axel sangat buas, namun Mahen malah memasang wajah datar.

Jika Napas Ini Habis (END) ✔Kde žijí příběhy. Začni objevovat